Ia juga bercerita bagaimana ladangnya yang luas kini menyusut. Sekitar dua hektar lahannya hilang terkikis sungai. “Dulu ada 2 hektar. Sekarang tinggal setengah hektar. Tanah saya terkikis sungai, hilang dimakan air,” katanya lirih.
Kehidupan di sekitar Batang Anai juga berubah drastis. Sungai yang dulu menjadi sumber air bersih kini tak lagi bisa diandalkan. Darmawan (57) adalah salah satu warga yang paling terdampak krisis air akibat tambang ilegal.
“Kalau kemarau sebulan saja, sumur warga langsung kering. Air sungai tak bisa kami pakai lagi,” katanya.
Darmawan dan warga lainnya terpaksa mengeluarkan biaya besar untuk membuat sumur bor. “Kami habis jutaan rupiah hanya untuk mendapatkan air bersih. Kalau tambang terus berjalan, kami akan semakin kesulitan,” ujarnya. Debu dari tambang juga mengancam kesehatan warga. “Dulu udara bersih. Sekarang kami sering batuk, sesak napas, dan anak-anak mudah sakit,” tambah Darmawan.
Selain itu, di Korong Gantiang Koto Buruak, sebuah jembatan yang menghubungkan pemukiman warga dengan pusat perekonomian di Lubuk Alung juga terancam. Ica (35), salah seorang warga, khawatir jembatan itu akan ambruk jika air sungai terus menghantam tebing.
“Kami takut jembatan ini putus. Kalau itu terjadi, kampung kami akan terisolasi. Anak-anak harus memutar untuk sampai ke pasar Lubuk Alung, anak kami jauh untuk sekolah, dan perjalanan jadi lebih lama,” ujar Ica.
Sementara itu, Jembatan Kayu Gadang menjadi bukti nyata akibat abrasi Sungai Batang Anai. Jembatan senilai Rp2 miliar itu hanya bertahan dua tahun sebelum ambruk akibat tergerus aliran sungai. Tragisnya, dua warga pernah jatuh dari jembatan itu dan kehilangan nyawa. Hingga kini jembatan itu tak pernah diperbaiki lagi.
“Jalan-jalan yang dulu jadi akses utama juga sudah banyak yang putus. Kami benar-benar terkepung,” tambahnya.