Menurutnya, jumlah utang itu sebenarnya sejalan dengan dana Silpa, karena di tahun yang sama Pemko Pariaman memiliki dana Silpa sebanyak Rp7 miliar.
Dana itu berasal dari surplus dana bagi hasil sawit sebanyak Rp4,4 miliar, Pengelolaan BLUA Rp1 miliar dan dana sertifikasi guru.
Hanya saja, lanjutnya, dana bagi hasil sawit ini bisa digunakan di tahun 2024, sesuai ketentuan dari pusat. Penggunaannya fokus pada pembangunan sarana dan prasarana.
Sedangkan dana BLU hanya bisa digunakan untuk rumah sakit, begitu juga dana sertifikasi guru untuk guru.
“Jadi tidak bisa diambil sembarangan karena melanggar hukum, dan mengarah pada korupsi,” tuturnya.
Meski memiliki dana Silpa, Roberia menerangkan bahwa statusnya tidak sebanding antara dana Silpa dan utang. Sehingga Pemko Pariaman masih memiliki utang sebanyak Rp7,1 M sesuai hasil audit BPK sejak 2020-2023.
Menanggapi kondisi ini, Roberia hendak melakukan pergeseran anggaran, mengubah fokus pembangunan untuk membayar utang pemerintah.
“Pilihannya berutang atau berutang lagi. Saya memilih untuk nol rupiahkan utang ini terlebih dahulu. Saya harap utang tidak lagi menjadi beban kepala daerah selanjutnya,” ujar Roberia.
Robe menginginkan kepala daerah selanjutnya agar tidak lagi membodohi masyarakat melalui ilmu defisit.
“Ilmu defisit ini jangan dijadikan untuk membodohi masyarakat Pariaman. Karena semua sudah ditentukan oleh pusat setiap tahun melalui perencanaan pendapatan dan belanja,” ujarnya.
Ia meminta perjalanan dinas yang tidak penting harus dihentikan, jangan seperti sebelumnya sering dipaksakan, padahal tidak efisien.
Meski melakukan pergeseran anggaran, Roberia tetap membagi anggaran supaya tidak mengganggu pembangunan masyarakat dan merugikan pegawai pemerintah.
Saat ini Roberia mengaku sudah menugaskan unit keuangan untuk mengecek pergeseran anggaran ini.