Satu-satunya cara untuk menstabilkan gas dan menghentikan kenaikan suhu adalah dengan menghentikan emisi. Sebab, kondisi ini mendorong peningkatan kerusakan dari gelombang panas, banjir hingga kekeringan.
Menurut laporan yang dirangkum oleh WMO melalui Global Atmosphere Watch Programme, pembakaran batu bara, minyak dan gas merupakan sumber terbesar karbon dioksida yang merupakan penyebab 66% pemanasan global. Pada 2020 emisi karbon dioksida turun sekitar 5% karena pembatasan Covid, dibandingkan dengan 2019.
Tetapi, kata WMO, miliaran ton gas ini masih dipompa ke atmosfer, yang berarti perlambatan ekonomi karena Covid-19 tidak memiliki dampak nyata pada tingkat tingkat pertumbuhan gas rumah kaca di atmosfer.
Sekitar setengah dari karbon dioksida dari aktivitas manusia tetap berada di atmosfer, sedangkan setengah lainnya diserap oleh lautan dan pepohonan serta tanaman di darat.
Namun WMO memperingatkan bahwa pemanasan global merusak kemampuan alam untuk menyerap emisi. Misalnya, saat ini Amazon telah beralih dari menyerap karbon dioksida malah mengembalikannya ke atmosfer saat terjadi kebakaran hutan, kekeringan, dan penebangan menghancurkan pohon.
Sedangkan metana, yang menyumbang 16% pada pemanasan global, sebagian besar emisinya disebabkan oleh aktivitas manusia seperti peternakan sapi dan produksi bahan bakar fosil. Metana merupakan gas rumah kaca yang kuat dan berumur pendek, sehingga pengurangan emisi memiliki dampak yang cepat.
Gas rumah kaca lainnya adalah dinitrogen oksida atau Nâ‚‚O, berkontribusi 7% terhadap pemanasan global. Emisi ini sebagian besar berasal dari penggunaan pupuk kimia yang berlebihan dalam pertanian dan kotoran ternak.
Saat ini tingkat gas rumah kaca lebih tinggi dari yang pernah dialami oleh umat manusia sepanjang masa. Ini merupakan kondisi tertinggi selama 3-5 juta tahun, di mana pada saat itu suhu global 2° C-3° C lebih panas dan permukaan laut 10-20 meter lebih tinggi dari hari ini.