Oleh : Sabarnuddin
Perkembangan yang baik dalam stabilitas masyarakat diawali dari unit terkecil yakni keluarga. Pendekatan yang baik antara orang tua dan anak akan menghantarkan pada terjadinya harmonisasi dalam lingkup sosial. Penyelesaian masalah yang selalu dengan kekerasan akan menjadikan watak serta pola pikir yang tak tentu arah dan akan membenci sosok yang menyiksanya. Daya ingat anak sangat kuat terlebih jika ia diajarkan dengan cara yang sangat kasar dan tidak berprikemanusiaan. Korelasi yang pasti terjadi bahwa sebagian besar para pelaku kriminal ialah para korban kekerasan dalam rumahnya.
Di era serba mudah mengakses semua hal hari ini, pendekatan dengan kekerasan sangat tidak layak bahkan ditentang keras oleh para pegiat hak anak dan perempuan. Jika dibandingkan jauh dari era yang serba teknologi hari ini pola pendidikan karkater dan mental anak justru dengan kekerasan yang tegas  terbukti ampuh memberikan efek jera dan efek positif bagi kepribadian anak. Lain halnya jika kekerasan yang terjadi antara ayah dan ibu atau suami dan istri, kekerasan yang yang selalu disaksikan oleh anak akan mengubah perspektif anak tentang keluarga. Ia beranggapan bahwa dengan kekerasan maka akan menyelesaikan semua persoalannya.
Menurut data kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak (PPA) ada sekitar 25.050 korban perempuan sepanjang tahun 2022. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya yakni 21.753 kasus. Selain itu KDRT juga menimpa laki-laki dengan jumlah 2.948 kasus. Kekerasan rumah tangga menjadi kasus yang paling banyak terjadi mencapai 18.138 korban. Jika dilihat dari jumlah laporan per daerah terlihat laporan tertinggi di Polda Sumatera Utara yakni 837 kasus dengan porsi 11,26% dari total KDRT nasional. Kemudian posisi kedua Polda Sulawesi Selatan mencapai 812 Kasus (10,92%), diikuti Polda Metro Jaya Sebanyak 693 kasus (9,32%) dan kemudian Polda Jawa Timur 651 Kasus ( 8,76%). Adapun polda dengan kasus KDRT terendah Polda Kalimantan Utara hanya 16 kasus kemudian Polda Kepulauan Bangka Belitung sebanyak 29 Kasus dan Polda Maluku Utara 48 Kasus.
Sejak tahun 2004 pemerintah telah mengeluarkan UU untuk mengurangi kasus KDRT yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam rumah Tangga (UUPKDRT) dengan tujuan dari UU PKDRT dalam pasal 4 ialah. (1) Mencegah terjadinya segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga (2) Melindungi korban kekerasan rumah tangga (3) Menindak pelaku kekersan dalam rumah tangga (4) Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
Kekerasan dalam rumah tangga jika dilihat dari hal yang mendasar terdapat pada kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan seksual, kekerasan ekonomi. Pendekatan yang humanis harus dilakukan bagi pelaku ataupun korban dalam KDRT. Perbedaan sosio-kultural hubungan laki-laki dan perempuan (relasi gender) di Indonesia secara kompleks terbangun melalui beberapa alasan diantaranya; laki laki secara fisik lebih kuat dari perempuan, tradisi masyarakat dominasi laki-laki terhadap perempuan, realitas ekonomi membuat perempuan banyk menjadi korban, psikologis laki-laki merasa hebat dari perempuan, pada akhirnya laki-laki semena mena terhadap perempuan.
Tradisi dalam Keluarga
Seorang anak yang dibesarkan oleh orang tua yang tidak dapat mengontrol emosi akan bersikap sama pada keluarganya kelak. Anak merupakan peniru ulung, maka semua hal yang ia lihat akan ia lakukan dalam keseharian dan di kemudian hari. Terlebih dalam masyarakat, jika anak selalu mendapat perlakuan kasar di rumah ia akan berbuat demikian pula di luar rumah dan bahkan lebih dari perlakuan yang ia terima di rumah. Pemahaman yang benar harus ditanamkan pada pasangan muda yang akan melangsungkan pernikahan. Para orang tua dan penasihat di Kantor Urusan Agama yang mengurusi masalah demikian harus memberikan nasihat kepada para calon orang tua untuk tidak meyelesaikan masalah dengan KDRT.
Konstruksi gender dalam masyarakat telah terbangun berabad-abad membentuk budaya dan diwariskan secara turu-temurun dari generasi ke generasi selanjutnya. Teori pembelajaran sosial (sosial learning theory ) menjelaskan bahwa kita banyak belajar banyak dari tingkah laku dalam konteks interaksi dengan orang lain. Teori ini beranggapan suatu hal dapat dipelajari tanpa meneliti ketika proses pembelajran berlangsung, namun melalui observasi terhadap orang lain dan kejadian lain.
Dilihat dalam berbagai penelitian tentang kekerasan terhadap istri dan kesehatan perempuan di Jawa Tengah dan di berbagai studi internasional di Amerika Serikat, Amerika Latin dan Asia, pada umumnya, para peneliti percaya bahwa perempuan yang tak terlindungi di masa kecilnya mungkin akan melihatnya sebagai suatu kejadian normal dan karenanya tak pernah memperlihatkan tanda-tanda peringatan dari suami penganiaya. Disisi lain, anak laki-laki yang menyaksikan ayahnya memukul ibunya, dia akan belajar bahwa hal itu adalah jalan terbaik untuk memberlakukan perempuan dan karena itu dia lebih mungkin menganiaya istrinya sendiri. Inilah yang dimaknai sebagai penularan kekerasan antar generasi (intergenerational transmisional of violence)