Oleh:Habil Ramanda/Jurnalis Sumbarkita.id
Krisis pangan global saat sekarang ini membayangi dunia. Inflasi harga pangan yang tinggi dan ketergantungan Indonesia terhadap impor menjadikan ketahanan pangan nasional mengalami penurunan. Di salah satu daerah terluar Indonesia, Kepulauan Mentawai menjadi salah satu kawasan yang paling terdampak. Di sana, harga pangan lebih mahal dari rata-rata nasional yang menjadikan kualitas gizi dan kesehatan masyarakat, terutama anak-anak disana lebih rendah.
Masyarakat di pulau-pulau kecil seperti Mentawai terpaksa membayar harga yang lebih tinggi untuk membeli bahan pokok. Sementara di sisi lain, ketergantungan terhadap beras dan produk berbahan terigu semakin meningkat, menggantikan pangan lokal tradisional seperti sagu, keladi, pisang, dan berbagai umbi-umbian. Pergeseran pola konsumsi ini, tanpa diimbangi dengan peningkatan produksi lokal, memperparah kerentanan.
Berdasarkan data Badan Pangan Nasional, konsumsi beras di Mentawai pada 2022 mencapai 71,05 kilogram per kapita per tahun. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan konsumsi pangan lokal lainnya seperti singkong (12,12 kg), ubi jalar (5,42 kg), atau jagung (0,11 kg). Ketergantungan pada pangan yang harus diimpor dari luar pulau membuat masyarakat semakin terdampak oleh fluktuasi harga. Pada April 2025, harga eceran beras premium nasional tercatat Rp15.568 per kilogram, dan beras medium Rp13.713 per kilogram, namun harga beras di Mentawai bisa melambung jauh lebih mahal karena biaya transportasi.
Secara kultural, masyarakat Mentawai sejatinya tidak memiliki tradisi menanam padi seperti masyarakat di daratan Sumatera. Penyebabnya adalah faktor ekologis seperti di Pulau Siberut, tanah yang memiliki tingkat keasaman tinggi kurang cocok untuk budidaya padi sawah. Budaya konsumsi masyarakat setempat lebih lekat dengan sagu, keladi, dan pisang yang tumbuh alami di hutan-hutan Siberut.
Namun di tengah ketergantungan yang makin dalam terhadap beras, upaya mencari solusi lokal terwujud. Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai kini mendorong penanaman padi gogo, yaitu varietas padi yang tahan di lahan kering dan tidak memerlukan irigasi intensif sebagai alternatif.
Pada awal 2025, Pemkab Mentawai mengajukan izin pemanfaatan 800 hektare lahan kering untuk program penanaman padi gogo dan jagung. Program ini tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan produksi pangan lokal, tetapi juga mengurangi ketergantungan terhadap pasokan pangan dari luar daerah.
Menurut Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Kepulauan Mentawai, Hatisama Hura, lahan-lahan tersebut tersebar di Kecamatan Pagai Selatan dan Kecamatan Sikakap, dengan target tanam 125 hektare padi gogo dan 67 hektare jagung di Pagai Selatan, serta 160 hektare padi gogo dan 51 hektare jagung di Sikakap.
Selain penyediaan benih unggul, pendampingan intensif kepada petani menjadi strategi penting. Pelatihan budidaya pertanian lahan kering, distribusi bibit berkualitas, hingga penerapan teknologi sederhana disiapkan untuk mendukung produktivitas. Pompanisasi lahan pun menjadi bagian integral untuk memenuhi kebutuhan air padi gogo di musim kering.
Langkah ini sejalan dengan arah kebijakan nasional yang kini mengutamakan penguatan produksi pangan dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada impor, sebagaimana menjadi salah satu prioritas Presiden Prabowo.
Namun untuk menuju kemandirian pangan lokal Mentawai tidak akan mudah. Tantangan ekologis, seperti keasaman tanah dan distribusi air, tetap harus diatasi. Begitu pula resistensi budaya masyarakat terhadap perubahan pola bertani dan konsumsi. Jika tidak dibarengi dengan pendekatan sosial-budaya yang sensitif, program padi gogo bisa berakhir seperti proyek-proyek pertanian masa lalu yang gagal: ambisius di atas kertas, namun rapuh di lapangan.
Di sisi lain, peluangnya pun nyata. Dukungan pendanaan dari pemerintah pusat, keterlibatan universitas dan lembaga riset, hingga partisipasi LSM lokal bisa menjadi motor penggerak yang memperkuat daya tahan pangan Mentawai.
Kolaborasi antar sektor bisa dikatakan sangan penting karena kemandirian pangan di Mentawai tidak akan berhasil jika diserahkan hanya kepada petani dan pemerintah daerah. Dibutuhkan kolaborasi lintas sektor: kementerian teknis, swasta, akademisi, LSM, hingga komunitas adat. Setiap sektor memiliki peran krusial, mulai dari penelitian varietas unggul, penyediaan infrastruktur, pendanaan inovatif, hingga edukasi masyarakat.
Menyiapkan kedaulatan pangan dari pinggiran adalah investasi untuk masa depan. Bukan hanya untuk Mentawai, tetapi juga untuk ketahanan pangan Indonesia secara keseluruhan. Sebab dalam ketahanan pangan nasional, tidak boleh ada satu pun wilayah yang tertinggal termasuk di pinggir barat Nusantara.
Oleh: Habil Ramanda/Jurnalis Sumbarkita.id