SUMBARKITA – Sudah menjadi wawasan umum, Pemerintah Kota Padang pada 1986 lalu menetapkan tanggal 7 Agustus sebagai hari jadi Kota Padang.
Hal itu berlandaskan kepada peristiwa penyerangan dari masyarakat lokal terhadap loji milik serikat dagang Belanda, VOC di muara Batang Arau, Padang pada 1669 silam.
Peristiwa (penyerangan) tersebut memiliki arti penting, baik dalam kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi kota Padang.
Kepala Seksi Cagar Budaya dan Museum Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Padang, Marshalleh Adaz, menjelaskan pendirian loji itu sendiri sudah menunjukkan arti penting kota di pesisir barat Sumatera tersebut.
“Sebelumnya penjelajah Eropa melakukan perjalanan ke Jawa. Ketika hendak mendirikan loji di sana, kompeni ternyata mendengar soal daerah lain yang juga berpotensi. Akhirnya, sebagian penjelajah dari Eropa bertolak dari Cirebon ke Sumatera,” jelas Adaz kepada Sumbarkita, Minggu (7/8/2022).
Baca Juga : Merawat Ingat dalam Peringatan 75 Tahun Gugurnya Bagindo Aziz Chan
Keterangan senada juga disampaikan oleh arkeolog yang kini bertugas di Museum Adityawarman, Alfa Noranda.
Menurutnya, kedatangan orang-orang Belanda untuk mencari tempat ke ‘timur jauh’ dipengaruhi oleh laporan dari Frederick de Houtman yang pernah terdampar di Aceh bersama saudaranya, Cornelis de Houtman.
Diketahui, Cornelis de Houtman meninggal dieksekusi di tanah rencong tersebut, sementara Frederick de Houtman bebas dan bisa kembali ke kampung halamannya.
Setelah De Houtman sampai ke Belanda, orang-orang dari negerinya tersebut datang ke Pulau Jawa, salah satu yang menjadi perhatian adalah Cirebon.
“Di Cirebon, penjelajah eropa mendengar tentang adanya sebuah daerah yang memiliki potensi besar, mencakup rempah-rempah seperti lada, cabai, kayu manis, cengkeh, serta mineral seperti emas dan perak,” imbuh Alfa.
Baca Juga : Pernah Dinobatkan Makanan Terenak di Dunia, Begini Sejarah dan Fakta Unik Seputar Randang
Di awal masa perdagangan VOC, didirikan loji di Cirebon. Namun karena potensi rempah dan mineral ada di pesisir barat Sumatera, maka ada tim yang dikirim untuk menggali informasi mengenai hasil-hasil rempah yang ada di pesisir barat.
“Mereka masuk pada awalnya melalui Bengkulu, lalu Air Haji, Indrapura, Painan (Pesisir Selatan), hingga sampai ke Padang,” jelasnya.
Usaha untuk membuat loji di Padang sendiri dimulai sejak 1665, di sekitar Muara Batang Arau sekarang.
Loji ini awalnya berfungsi sebagai gudang penyimpanan hasil bumi untuk dibawa ke Eropa.
Pada saat itu, mulailah perdagangan Vereenigde Oostindische Compagnie atau yang lebih dikenal dengan VOC di Kota Padang.
Monopoli yang dilakukan orang asing tersebut nyatanya tidak diterima oleh masyarakat lokal.
Pada 7 agustus 1669, masyarakat Koto Tangah, Pauh, dan sebagian dari Bandar Padang melakukan perlawanan terhadap kompeni belanda yang kala itu bermarkas di loji.
“Perlawanan dilakukan karena ketidakpuasan rakyat terhadap monopoli perdagangan VOC,” tambah Syamdani, Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Padang.
“Mereka berusaha melepaskan tanah mereka dari kekuasaan bangsa asing. Ada perbedaan yang luar biasa antara penjajah dengan yang terjajah. Penjajah saat itu ingin menguasai kota padang secara khusus dan ranah minang secara umum di bidang ekonomi, politik, maupun budaya,” sambungnya.
Masyarakat saat itu menyadari, ekonomi mereka terkerangkeng di tengah kekuasaan kolonial.
Belum lagi, sistem politik kolonial yang mencaplok-caplok wilayah kekuasaan para pembesar lokal Minangkabau.
Loji pada akhirnya dibakar habis pada malam hari.
Penyerangan masyarakat dilakukan dengan perencanaan matang, didukung oleh raja Pagaruyung yang merasa sudah ditipu oleh kolonialis.
Akibat peritstiwa itu, VOC mengalami kerugian besar. Kendati akhirnya bisa meredam situasi, peristiwa itu dianggap sebagai salah satu sorotan penting persatuan masyarakat lokal, sehingga dijadikan sebagai hari jadi Kota Padang. (*)
Editor : Putra Erditama