Masih merujuk pada buku yang sama, “Pada pertemuan ini, dibicarakan tentang tentang perubahan sila pertama Pantjasila dalam Piagam Djakarta, 22 Juni 1945, Jumat Kliwon, 11 Rajab 1364, Yakni Ketoehanan, dengan kewajiban mendjalankan Sjariat Islam bagi pemeloek2-nja”.
Pertemuan ini menjadi alot ketika Ki Bagoes Hadikoesoemo menolak perubahan ini.
Setelah dilakukan pendekatan oleh Wachid Hasjim, Ki Bagoes Hadikoesoemo tetap menolak perubahan usul perubahan itu, lalu pendekatan dilanjutkan oleh Kasman Singodimedjo.
“Kemudian, disarankan kepada Ki Bagoes Hadikoesoemo bahwa kita sebagai umat Islam yang mayoritas ini sementara mengalah, yakni menghapus tujuh kata termaksud, demi Kemenangan cita-cita kita bersama, yakni tercapainya Indonesia merdeka sebagai negara yang berdaulat, adil makmur, tenang tentram diridhai Allah.” Pendekatan Kasman Singodimedjo ini berhasil dengan syarat, Ketuhanan ditambah dengan “Yang Maha Esa. (Suryanegara;2010).
Baca Juga : Mengenal Gedung Joang ’45, Bangunan Bersejarah Kemerdekaan di Padang yang Terabaikan
Muhammad Hatta menilai bahwa kesedian tokoh Muslim untuk mengubah sila pertama pancasila menunjukan bahwa Ulama benar-benar lebih mementingkan nasib dan persatuan bangsa seutuhnya. (Suryanegara;2010)
Melansir buku karangan Pepen Irpan Fauzan berjudul “Negara Pancasila vis-avis Negara Islam” (2019) perubahan ini disebabkan Karena Hatta mencoba mengakomodir kelompok non-muslim di kawasan Timur Indonesia yang merasa sila pertama diskriminatif terhadap mereka.