Pria yang juga berprofesi sebagai advokat ini menyebut, tujuan pendidikan juga bermaksud untuk memberikan kesempatan bagi seluruh warga negara Indonesia agar bisa membentuk harkat dan martabat sumber daya manusia yang mumpuni.
“Jika kasus dugaan ijazah palsu ini benar adanya, maka hal ini sangat disayangkan dan tentunya sangat mencoreng citra pendidikan kita. Apalagi pelakunya disebut-sebut sebagai caleg terpilih,” ujarnya.
Rodi menuturkan, ada beberapa hal yang mesti dijadikan pelajaran dalam kasus dugaan ijazah palsu tersebut.
Pertama, kata dia, terkait penggunaan ijazah palsu tersebut tentunya akan berdampak merusak dan mencederai tujuan sistem pendidikan lantaran seseorang dengan sangat mudah menyederhanakan proses belajar mengajar diluar prosedur.
Apalagi hal tersebut dipergunakan untuk tujuan yang besar yaitu kepentingan politik sebagai seorang caleg.
Kedua, bagi pemangku kepentingan, khususnya bagi penyelenggara pendidikan. Hal tersebut harus menjadi perhatian serius terutama saat melakukan pembinaan dan pengawasan.
Sebab, jika terjadi kesalahan ataupun kekeliruan dalam mengambil keputusan, maka yang akan dirugikan bukan saja si pelaku, namun banyak pihak.
“Dari persoalan yang terjadi saat ini, maka kita juga menyarankan agar setiap penyelenggara pemilu seperti KPU, Bawaslu dan partai politik (parpol) harus mempunyai kajian dasar atau pedoman awal. Pihak-pihak terkait harus mempunyai sistem kerja yang jelas dan terukur, termasuk saat melakukan validasi keabsahan ijazah yang digunakan para caleg saat mendaftar. Jika hal ini sudah dilakukan dengan baik dan benar, maka kita yakin hal seperti ini tidak akan terulang lagi dikemudian hari,” terangnya.