Sumbarkita — Dalam bulan puasa kita sering mendegar hadis bahwa tidurnya orang yang berpuasa bernilai ibadah. Kita sering kali mempercayai hadis itu tanpa mengetahui derajat kesahihan hadis itu.
Dikutip dari Muslim.or.id dalam “12 Hadits Lemah dan Palsu Seputar Ramadhan”, hadis tentang tidurnya orang yang berpuasa bernilai ibadah merupakan hadis yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi di Syu’abul Iman (3/1437).
Begini redaksi hadis tersebut:
نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ ، وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ ، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ ، وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ
“Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, do’anya dikabulkan, dan amalannya pun akan dilipatgandakan pahalanya.”
Terdapat juga riwayat yang lain tentang hal tersebut:
الصائم في عبادة و إن كان راقدا على فراشه
“Orang yang berpuasa itu senantiasa dalam ibadah meskipun sedang tidur di atas ranjangnya.”
Hadis itu diriwayatkan oleh Tammam (18/172). Hadis itu juga daif, sebagaimana dikatakan oleh Al Albani di Silsilah Adh Dhaifah (653).
Yang benar, tidur adalah perkara mubah (boleh) dan bukan ritual ibadah. Maka, sebagaimana perkara mubah yang lain, tidur dapat bernilai ibadah jika diniatkan sebagai sarana penunjang ibadah. Misalnya, seseorang tidur karena khawatir tergoda untuk berbuka sebelum waktunya, atau tidur untuk mengistirahatkan tubuh agar kuat dalam beribadah.
Sebaliknya, tidak setiap tidur orang berpuasa itu bernilai ibadah. Sebagai contoh, tidur karena malas, atau tidur karena kekenyangan setelah sahur. Keduanya, tentu tidak bernilai ibadah, bahkan bisa dinilai sebagai tidur yang tercela. Maka, hendaknya seseorang menjadikan bulan ramadhan sebagai kesempatan baik untuk memperbanyak amal kebaikan, bukan bermalas-malasan.