Oleh: Anggun Desmita
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil timah terbesar di dunia. Produksi timah Indonesia pada 2021 mencapai 71 ribu ton. Cadangan timah Indonesia diperkirakan mencapai 800 ribu ton, dengan Pulau Bangka sebagai lokasi terbesar.
Sebagaimana diketahui, timah-timah tersebut diproduksi oleh pelaku usaha atau perusahaan tambang yang telah memiliki Izin Usaha Jasa Pertambangan (IUJP) yang diterbitkan oleh pemerintah. Namun baru-baru ini ditemukan pula tambang timah ilegal di Bangka Belitung. Kegiatan ilegal ini sebagai indikasi bahwa daerah tambang timah semakin meluas.
Padahal, memperluas tambang termasuk tambang timah sama dengan merusak lingkungan dan memperkecil ruang hijau. Kondisi ini diperparah oleh upaya pemerintah mempercepat persetujuan izin pertambangan rakyat (IPR).
Pemerintah semestinya tidak hanya fokus pada penghasilan dari ekspor timah dan abai pada pemeliharaan lingkungan. Sejatinya pemerintah telah membuat Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) Nomor 7 Tahun 2014 yang mengatur penghitungan kerugian dari aspek lingkungan untuk mempertahankan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH).
Diketahui, IKLH berisi informasi yang berharga dalam pengambilan kebijakan terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Namun faktanya, pada 2021 lalu, IKLH Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mencapai 72,05 turun 1,45 poin dibandingkan tahun sebelumnya.
Penurunan IKLH adalah pertanda lemahnya pengawasan dampak lingkungan akibat pertambangan. Di sisi lain, aktivitas tambang justru dimanfaatkan sebagian kelompok untuk merampok kekayaan negara, sebagaimana baru-baru ini terbongkar korupsi Rp271 triliun dalam pengelolaan timah di Bangka Belitung.
Kerugian fantastis yang ditimbulkan akibat tambah timah ini secara nyata memperlihatkan bagaimana regulasi yang dibuat pemerintah dengan sangat mudah dimanfaatkan oleh sekelompok orang untuk mengeruk kekayaan alam untuk kepentingan pribadi. Padahal kerusakan berikut dampaknya akan dirasakan oleh banyak orang.
Apakah kerusakan lingkungan skala besar dan mega korupsi itu sebanding dengan hasil yang diperoleh negara? Berapa besar biaya yang dibutuhkan untuk pemulihan kerusakan lingkungan tersebut? Pertanyaan ini mesti menjadi bahan bagi pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru terkait pertambangan timah.
Apa yang mesti dilakukan jika lingkungan bekas tambah timah sudah terlanjur rusak parah? Penulis berpendapat, segera produktifkan lokasi bekas tambang, salah satunya sebagai tempat wisata. Usaha ini untuk jangka panjang akan berdampak dua hal, selain pemulihan lingkungan sekaligus menggeliatkan ekonomi kawasan setempat.
Lalu, apakah pembukaan area tambang timah yang baru tidak lagi diizinkan? Tentu tetap bisa, hanya saja perbaiki seluruh kerusakan kemudian dipelihara, maka barulah setelah itu perluasan area tambang timah bisa dilakukan.
Eksplorasi sumber daya alam secara ugal-ugalan tidak hanya berdampak pada kerusakan lingkungan yang berpotensi melahirkan bencana. Menjaga lingkungan dan keseimbangannya merupakan tanggung jawab bersama untuk diwariskan ke generasi yang akan datang. *
*
Anggun Desmita, Mahasiswa Departemen Ilmu Politik Universitas Andalas