Sumbarkita – Pasangan calon nomor urut 03, Hendri Septa-Hidayat, mengajukan sengketa hasil Pilkada Kota Padang dengan nomor perkara 212/PHPU.WAKO-XXIII/2025 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang sengketa digelar pada Jumat (10/1).
Kuasa hukum Hendri Septa, Bambang Widjojanto, mengungkapkan adanya dugaan pelanggaran serius yang dilakukan oleh pasangan calon nomor urut 01, Fadly Amran dan Maigus Nasir.
Bambang mengungkapkan bahwa paslon 01 hanya melaporkan pengeluaran kampanye sebesar Rp5,7 miliar dalam LPPDK mereka. Namun, fakta di lapangan menunjukkan dugaan biaya kampanye sebenarnya mencapai Rp49,5 miliar, jauh melampaui angka yang dilaporkan secara resmi.
“Ada disparitas besar antara laporan resmi dan fakta penggunaan dana di lapangan,” ujar Bambang di hadapan sidang MK.
Bambang juga menyoroti sumber dana kampanye paslon 01 yang diduga tidak masuk akal. Berdasarkan laporan harta kekayaan ke KPK, total kekayaan Fadly Amran dan Maigus Nasir hanya mencapai Rp1,4 miliar. Namun, mereka melaporkan bahwa seluruh biaya kampanye berasal dari sumber dana pribadi.
Selain itu, menurut Bambang, paslon 01 diduga melakukan mobilisasi aparat pemerintahan seperti RT dan RW, serta melibatkan 7.500 warga, dalam sebuah kegiatan bermodus bimbingan teknis (bimtek) pada 13, 14, dan 15 Agustus, sebelum pendaftaran resmi Pilkada. Sebagian dari mereka disebut merupakan ASN yang diwajibkan mendukung paslon 01.
“Para peserta kegiatan ini disebut menerima imbalan Rp500 ribu untuk satu kali pertemuan, dengan janji tambahan bayaran yang sama selama tiga bulan ke depan,” ujarnya.
Bambang menegaskan bahwa RT dan RW sebagai perangkat daerah seharusnya bersikap netral, namun mereka justru dimanfaatkan sebagai perpanjangan tangan paslon 01. Selain itu, Bambang menduga paslon 01 melakukan politik uang secara masif di delapan kecamatan, termasuk Koto Tangah, Padang Utara, Padang Barat, dan Padang Selatan.
“Modus yang digunakan adalah membungkus politik uang sebagai partisipasi politik dalam kampanye, yang melibatkan banyak struktur pemerintahan,” ucapnya.
Hendri Septa dalam pernyataannya mengungkapkan bahwa gugatan ini bertujuan untuk menyelamatkan demokrasi di Indonesia, baik pada masa kini maupun di masa mendatang. Ia memperingatkan bahwa jika politik uang dibiarkan merajalela, maka hanya orang-orang dengan kekayaan melimpah yang dapat menjadi pemimpin.
“Bayangkan jika politik uang yang melibatkan aparat pemerintahan terus terjadi tanpa sanksi, ini akan merusak prinsip kejujuran dan keadilan dalam demokrasi,” tegasnya.