Lebih lanjut, Hendra juga mencermati bahwa jika isu ini terus berkembang dan mengarah pada collective behavior, ada kemungkinan akan muncul tokoh moral force dari kalangan mahasiswa, seperti yang terjadi di masa lalu.
Namun, menurutnya, saat ini gerakan tersebut masih dalam tahap awal dan belum mencapai tingkat yang signifikan.
“Gerakan ini masih dalam posisi awal, mirip dengan gerakan kecil-kecilan di era Presiden SBY atau sebelum pandemi COVID-19. Isunya belum mengerucut, dan gerakan ini bisa saja bergejolak lalu menghilang,” jelasnya.
Hendra juga menekankan pentingnya mahasiswa memperkuat literasi dan konsep sebelum melakukan aksi. Menurutnya, gerakan itu harus konsisten dalam mengkritisi pemerintah karena mahasiswa juga berperan sebagai wakil rakyat yang berada di posisi middle class dan diharapkan menjadi penyambung lidah rakyat sebagai kelompok moral force yang independen.
Membandingkan dengan gerakan 1998, Hendra mengatakan bahwa situasinya sangat berbeda. Dia menyebut, kondisi yang pada saat itu sudah memasuki fase krisis membuat gerakan mahasiswa didukung oleh masyarakat luas dan mandapat perlawanan oleh pemerintah, sehingga muncul simbol perjuangan seperti peristiwa Trisakti.
Namun, menurutnya, isu yang diusung saat ini lebih didominasi oleh praktik politik praktis dan kepentingan elit.
“Meskipun ada ketidaknyamanan yang dirasakan masyarakat terhadap pemerintahan yang dianggap oligarki, gerakan ini masih berbentuk gelembung-gelembung kecil yang belum bersatu. Ketidaknyamanan ini masih berada di tahap awal dan belum berkembang menjadi gerakan yang solid,” tutur mantan aktivis Universitas Andalas pada masa Orde Baru itu.
Ketika ditanya mengenai prediksi puncak gerakan ini, Hendra mengungkapkan bahwa sulit untuk memperkirakan arahnya.
“Kondisi saat ini masih tidak jelas dari mana asal gerakan ini dan kepentingan kompromistis yang mungkin akan menyelesaikannya. Gerakan ini belum sepenuhnya murni dari moral force, tetapi juga mengandung kepentingan lain di dalamnya,” tutup Hendra.