Kemudian, tantangan lain yang dihadapi DHD ’45 Sumbar saat ini adalah terkait anggaran untuk pengelolaan gedung.
Hasyrin mengaku pihaknya tidak menerima anggaran langsung dari pemerintah daerah. Satu-satunya sumber anggaran yang bisa digunakan untuk pengelolaan hanya berasal dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) yang berbasis di Batusangkar.
“Kita butuh biaya untuk operasional Gedung Joang agar bisa dibuka untuk umum sebagai museum dan perpustakaan. Sebab kita butuh biaya untuk memberi gaji atau honor untuk petugas yang akan ditempatkan sebagai petugas museum atau pustakawan,” jelasnya.
Sebab demikan, Gedung Joang 45 di Jalan Samudera tidak dibuka untuk umum. Pihaknya baru akan membuka gedung itu jika ada pihak-pihak yang akan melakukan penelitian, seperti mahasiswa sejarah.
“Kita berharap anggaran yang cukup sampai ke DHD ’45. Ini juga untuk generasi muda Sumbar, supaya penghargaan nilai sejarah berjalan untuk sejarah itu sendiri, bukan untuk kekuasaan atau politik,” sebutnya.

Terlebih lagi, ia menambahkan, Sumbar merupakan salah satu basis para pemikir dalam masa pembentukan Republik Indonesia, sehingga apresiasi terhadap nilai sejarah harus lebih ditingkatkan.
Gedung Joang 45 menyimpam banyak dokumentasi berupa foto-foto pejuang kemerdekaan asal daerah, dan berbagai dokumen penting seputar kemerdekaan, serta buku-buku sejarah.
Pada zaman kolonial Belanda, gedung itu pernah dipakai sebagai kantor Perwakilan Dagang Jerman di pantai barat Sumatra. Bahkan, gedung itu sudah berdiri sejak 1909.
Namun, pada saat Jepang masuk ke Indonesia pada 1942 seiring dengan kemenangannya pada Perang Asia Timur Raya, gedung itu dimanfaatkan militer Jepang sebagai salah satu basis pertahanan di kawasan barat Padang.
Setelah kekalahan Jepang oleh sekutu pada 1945, gedung itu ditinggalkan begitu saja. Sempat dimanfaatkan sejenak oleh pejuang pro kemerdekaan, sebelum akhirnya beralih lagi ke Belanda pasca kedatangannya bersama sekutu pada Oktober 1945.
Pada akhirnya, setelah Konferensi Meja Bundar Desember 1949, gedung itu diserahkan ke residen Sumatra Barat.
Gedung itu sempat pula menjadi markas Resimen-IV Tentara dan Teritorium I Bukit Barisan dan hingga kini gedung itu beralih dari pengelolaan ke Danrem 032 ke DHD ’45 untuk kemudian menjadi kantor harian Angkatan ’45 Sumbar. (*)
Editor: RF Asril