“Maka, secara tidak langsung, jumlah penduduk di pinggir pantai berkurang sehingga risiko bencana berkurang karena yang terdampak bencana ialah penduduk,” tutur Ade.
Lebih lanjut Ade menerangkan bahwa tata guna lahan tanah tersebut akan beralih dari pemukiman kurang aman tsunami ke penggunaan lahan untuk sektor usaha oleh pemodal, yang mendirikan bangunan permanen yang kuat, seperti hotel, restoran, yang mampu menahan tsunami.
Bangunan-bangunan permanen aman gempa dan tsunami itu bisa didirikan oleh pemerintah maupun swasta. Contoh bangunan yang didirikan Pemda ialah gedung Dinas Kebudayaan Sumbar. Sementara itu, bangunan yang dibangun swasta ialah hotel seperti Mercure, Ocean Beach Hotel, Hotel My All.
“Selain sebagai benteng tsunami, bangunan-bangunan itu bisa dijadikan shelter tsunami,” tuturnya.
Ade menceritakan bahwa rencana pembangunan Jalan Pantai Padang hingga ke BIM disusun sebagai mitigasi untuk menghadapi tsunami setelah gempa 2007. Dalam perencanaan itu akan dibangun jalan dari Simpang Olo Ladang hingga ke BIM. Ketika itu di sana hanya ada rumah-rumah pondok milik nelayan yang berhadapan langsung dengan laut.
“Dulu hanya ada jalan dari Simpang Olo Ladang sampai ke Muara Padang. Dari Simpang Olo Ladang seterusnya ke arah ke Hotel Pangeran belum ada jalan permanen, tetapi baru ada jalan tanah setapak,” ucapnya.
Dengan tidak adanya kelanjutan pembangunan jalan itu, kata Ade, mitigasi menghadapi tsunami tidak berjalan. Padahal, dalam situasi seperti sekarang, ketika isu megathrust gempa Mentawai dan tsunami muncul kembali, keberadaan jalan tersebut terasa penting.