SUMBARKITA.ID — Perhimpunan Dokter Paru Indonesia mengungkapkan saat ini Indonesia telah menggunakan sejumlah obat Covid-19. Terdiri dari, Azitromisin atau Levofloksasin, Klorokuin atau Hidroksiklorokuin, Oseltamivir dan Vitamin, Azitromisin atau Levofloksasin, Klorokuin atau Hidroksiklorokuin, Favipiravir dan Vitamin.
Azitromisin atau Levofloksasin, Klorokuin atau Hidroksiklorokuin, Lopinovir+Ritonavir dan Vitamin, Azitromisin atau Levofloksasin, Klorokuin atau Hidroksiklorokuin, Remdesivir dan Vitamin.
Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, DR. dr. Agus Dwi Santoso, Sp.P (K) menegaskan hingga saat ini belum ada terapi spesifik untuk Covid-19 bahkan di seluruh dunia.
Dia menyebut, berdasarkan gejalanya, sebanyak 81% tanpa gejala, ringan dan sedang, 14% berat dan 5% itu kritis.
“Kita sudah mengeluarkan pedoman tatalaksana Covid-19, mengobati pasien berdasarkan sekuriti, karena masing-masing sekuriti punya pilihan obat,” katanya saat video conference di Graha BNPB Jakarta, dikutip dari CNBC Indonesia, Selasa (18/8/2020).
Menurutnya, berdasarkan pilihan yang berasal dari literatur, jika tak ada gejala cukup diberikan vitamin atau juga obat imunomodulator baik yang tradisional maupun modern yang sudah mendapatkan ijin di Indonesia. Kemudian kalau ringan, sedang, berat, dari perhimpunan menurutnya ada panduan dan pedoman.
“Saat ini memang belum ada terapi spesifik, belum ditemukan. Tapi kita membuat pilihan berdasarkan literatur dan profesi, ada pilihan 1,2,3,4,” ujarnya.
Pilihan pertama terdiri dari Azitromisin atau Levofloksasin, Klorokuin atau Hidroksiklorokuin, Oseltamivir dan Vitamin. Pilihan kedua Azitromisin atau Levofloksasin, Klorokuin atau Hidroksiklorokuin, Favipiravir dan Vitamin.
Pilihan ketiga Azitromisin atau Levofloksasin, Klorokuin atau Hidroksiklorokuin, Lopinovir+Ritonavir dan Vitamin. Pilihan keempat adalah Azitromisin atau Levofloksasin, Klorokuin atau Hidroksiklorokuin, Remdesivir dan Vitamin.
“Sedangkan pilihan keempat kita tak ada, karena kita tak tersedia remdesivir. Kalau untuk 1,2,3 di Indonesia ada,” tegasnya.
Sejauh ini, lanjutnya, obat-obat tersebut yang sudah digunakan di Indonesia. Ini dilakukan sejak ada kasus di Indonesia. (*)