Oleh: Aidinil Zetra*
Indonesia telah menempuh jalan panjang menuju demokrasi. Reformasi 1998 menandai titik balik sejarah politik kita: dari bayang-bayang otoritarianisme menuju ruang publik yang lebih terbuka. Pemilu diselenggarakan secara rutin, kebebasan berpendapat dijamin oleh konstitusi, dan hak politik warga, baik memilih maupun dipilih, telah menjadi bagian dari keseharian demokrasi kita.
Namun, dua dekade setelah euforia transisi, kita dihadapkan pada pertanyaan mendasar: Apakah demokrasi kita telah tumbuh secara substansial? Ataukah ia hanya menjelma menjadi seremoni politik yang berulang tanpa kedalaman makna?
Dalam banyak hal, partisipasi politik di Indonesia saat ini tampak menggembirakan. Jumlah pemilih meningkat, kontestasi elektoral semarak, dan isu-isu publik menjadi bahan perbincangan harian. Namun, di balik statistik partisipasi pollitik itu, terdapat kehampaan. Meskipun tampak riuh, demokrasi kita tidak selalu utuh. Ia hanya lantang dalam suara, tetapi lemah dalam makna.
Ruang publik kita dipenuhi kebisingan, bukan perbincangan. Media sosial memproduksi lebih banyak ujaran kebencian ketimbang pertukaran gagasan. Polarisasi menggantikan deliberasi. Ketika suara rakyat hanya dijumlah dan tidak dipahami, maka demokrasi kehilangan salah satu unsur pokoknya: nalar kolektif.
Demokrasi yang kehilangan jiwa
Apa yang kita saksikan saat ini ialah bentuk demokrasi yang nyaris mekanistik: pemilu dilaksanakan, wakil rakyat terpilih, pemerintahan terbentuk. Namun, substansi demokrasi, yakni peran serta warga dalam pengambilan keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, secara terus-menerus terabaikan. Demokrasi direduksi menjadi prosedur lima tahunan, bukan proses harian. Rakyat hadir di tempat pemungutan suara, tetapi absen dalam ruang-ruang deliberasi.
Dalam beberapa bulan terakhir, sejumlah rancangan undang-undang (RUU) di Indonesia telah menuai kontroversi karena minimnya partisipasi publik dalam proses pembahasannya. Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI), misalnya, mendapat kritik tajam karena dianggap membuka kembali peluang dwifungsi TNI. Tidak ada konsultasi publik bermakna sebelum draf revisi diajukan. Diskusi hanya dilakukan di ruang-ruang terbatas, sering kali hanya melibatkan institusi keamanan tanpa suara dari masyarakat sipil, pakar hukum, atau akademisi yang independen.
Komnas HAM dan Koalisi Masyarakat Sipil menyebut proses revisi itu melanggar prinsip demokrasi karena tidak ada keterbukaan informasi, padahal perubahan UU yang berdampak pada struktur kekuasaan militer harus dibahas secara inklusif. Pembahasan RUU Daerah Khusus Jakarta juga dilakukan secara kilat, tanpa membuka ruang konsultasi publik yang memadai. Masyarakat, akademisi, dan pemangku kepentingan Jakarta tidak diberi cukup waktu dan saluran untuk menyampaikan aspirasi. Tidak hanya itu Koalisi Masyarakat Sipil untuk pembaruan KUHAP mengecam keras bahwa pembahasan RUU KUHAP dilakukan secara tertutup, hanya melibatkan pihak terbatas.
Musyawarah perencanaan pembangunan hanya menjadi formalitas. Forum warga diselenggarakan tanpa daya ikat. Meskipun aspirasi publik terus mengalir, tetapi tak selalu diproses menjadi kebijakan. Representasi politik tidak menjamin keterwakilan suara rakyat secara utuh.
Dalam kehampaan itu media sosial menjelma menjadi panggung utama demokrasi digital. Namun, panggung itu sering kali tak memiliki naskah yang sehat. Alih-alih memperkaya perdebatan, ia memperkuat polarisasi. Alih-alih menjadi ruang deliberasi, ia menjadi ajang demonstrasi ego dan emosi.
Demokrasi kita, pada titik tertentu, telah kehilangan jiwanya. Ia menjadi demokrasi yang gaduh, tetapi tidak mendalam. Demokrasi yang ramai, tetapi hampa.
Jalan menuju demokrasi deliberatif
Demokrasi yang sehat tak bisa dibangun hanya dengan suara mayoritas. Ia memerlukan partisipasi yang bermakna, dialog yang setara, dan keputusan yang rasional. Inilah yang oleh para pemikir politik kontemporer seperti Jürgen Habermas dan John Dryzek disebut sebagai demokrasi deliberatif.
Dalam model ini warga negara tidak hanya berperan sebagai pemilih, tetapi juga sebagai penimbang. Kebijakan publik tidak semata ditentukan oleh elite, tetapi lahir dari diskusi publik yang terbuka. Perbedaan tidak dipandang sebagai ancaman, tetapi sebagai aset demokrasi. Gagasan tidak dipaksakan, tetapi dipertukarkan.
Beberapa negara telah melangkah ke arah ini. Irlandia, misalnya, menggunakan Citizens’ Assembly untuk merumuskan keputusan besar terkait konstitusi. Kanada menjalankan deliberative polling untuk menjaring aspirasi publik secara sistematis. Inisiatif-inisiatif itu menunjukkan bahwa demokrasi bisa berjalan lebih dalam, lebih inklusif, dan lebih bermakna.
Demokrasi deliberatif Minangkabau sebagai sumber inspirasi demokrasi substabsial Indonesia
Minangkabau merupakan satu dari sedikit peradaban di dunia yang sejak awal berdiri di atas konsensus, deliberasi, dan musyawarah, jauh sebelum istilah deliberative democracy populer di ranah akademik Barat. Di Minangkabau, keputusan hidup bersama tidak dipaksakan oleh suara mayoritas semata, tetapi ditempa lewat proses panjang mufakat yang sarat pertimbangan etis, kosmologis, dan sosial.
Almarhum Prof. Mochtar Naim pernah membedakan antara Budaya J (Jawa) dan Budaya M (Minangkabau) dalam cara keduanya menyikapi kekuasaan dan otoritas: Budaya J cenderung hierarkis dan sentralistis, melihat pemimpin sebagai pusat kuasa yang tak tergugat. Budaya M, sebaliknya, antisentralistik, egaliter, dan berhati deliberatif. Pemimpin (pangulu) adalah pelayan kaumnya, bukan penguasa absolut. Di sinilah demokrasi Minang berakar: bukan dari imitasi prosedur Barat, melainkan dari nilai adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (ABS-SBK) yang menjadikan musyawarah mufakat bukan sekadar etika sosial, melainkan hukum hidup bersama.
“Bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakaik” adalah asas demokrasi deliberatif: keputusan diambil bukan oleh suara terbanyak, tapi oleh kebulatan hasil musyawarah yang melibatkan semua unsur masyarakat adat.
Ciri-ciri demokrasi deliberatif ala Minangkabau pertama partisipatif dan inklusif: Semua pihak yang berkepentingan didengarkan, mulai dari ninik mamak, alim ulama, hingga cerdik pandai. Bahkan, bundo kanduang (perempuan adat) memiliki ruang penting dalam musyawarah. Kedua, berbasis nilai kolektif: Argumen tidak semata rasional-instrumental, tetapi juga moral-kultural dan spiritual. Hal itu memperkaya deliberasi karena mempertimbangkan batin masyarakat, bukan sekadar logika angka. Ketiga, bersifat kooperatif, bukan kompetitif: Tidak ada pemenang atau pecundang dalam musyawarah adat. Yang ada ialah “keputusan bersama” yang mengikat karena sudah diiyakan oleh hati nurani bersama.
Dari demokrasi deliberatif Minangkabau kita belajar bahwa pertama demokrasi harus berakar pada budaya lokal, bukan sekadar adopsi institusi asing. Kedua, demokrasi sejati bukan soal suara terbanyak, melainkan tentang keputusan terbaik yang diterima oleh semua dengan lapang dada. Ketiga, demokrasi tanpa ruh deliberatif akan mudah terjerumus menjadi populisme dangkal dan polarisasi sosial.
Indonesia kini berada di persimpangan jalan. Kita bisa terus melaju dalam demokrasi prosedural yang penuh kebisingan, atau memilih menata ulang sistem kita menuju demokrasi yang lebih deliberatif. Untuk itu, sejumlah langkah perlu dipertimbangkan: Pertama, merevitalisasi forum partisipasi publik agar benar-benar menjadi ruang deliberasi, bukan sekadar seremoni. Kedua, memperkuat pendidikan kewargaan yang mendorong kemampuan berpikir kritis dan berdiskusi sejak dini. Ketiga, membangun ekosistem digital yang mendorong dialog, bukan hanya keterhubungan. Dan keempat, menjadikan perguruan tinggi sebagai ruang penyemaian nalar kolektif.
Penutup
Kini, saatnya kita berhenti hanya menghitung suara—dan mulai mendengarkan isi dari suara itu. Demokrasi Indonesia tak akan mencapai kedewasaannya bila terus terjebak dalam euforia prosedur tanpa ruh perundingan. Dari Minangkabau kita belajar bahwa peradaban bisa tumbuh bukan dari dominasi, melainkan dari dialog; bukan dari pertarungan suara, melainkan dari pertemuan pikiran. Di tengah hiruk-pikuk politik yang makin bising, marilah kita bangun kembali nalar kolektif bangsa—karena hanya dengan deliberasi yang jujur dan partisipasi yang bermakna, demokrasi kita akan menemukan kembali jiwanya. Dari sanalah Indonesia bisa tumbuh bukan sekadar sebagai negara demokratis, melainkan sebagai bangsa yang benar-benar bermusyawarah dalam makna, bermufakat dalam cita.
*Aidinil Zetra, Dosen Ilmu Politik Universitas Andalas dan Sekretaris Universitas Andalas