Oleh: Shilva Lioni
Fenomena penggunaan dan pemakaian istilah boikot belakangan menjadi hal yang popular di kalangan masyarakat. Mencuat dengan adanya pengaruh tindakan tentara zionis Israel terhadap warga Palestina yang semakin membabi-buta dan banyak menimbulkan korban jiwa dewasa ini, tindakan inisiatif yang dimunculkan di masyarakat sebagai sebuah bentuk pro Palestina yakni melalui seruan untuk melakukan pemboikotan kepada beberapa produk yang dinilai pro terhadap pihak Israel pun menjadi hal yang popular di tengah-tengah masyarakat.
Beranjak dari hal tersebut, tidak ada salahnya kita menilik kembali asal kata, pengertian, dan penggunaan istilah boikot.
Dari agen tanah di Inggris hingga ke Indonesia
Kemunculan istilah boikot pertama kali terinspirasi dari sebuah peristiwa sejarah yang dialami oleh seorang agen tanah Inggris bernama Charles Cunningham Boycott. Agen tanah asal Inggris tersebut dibenci dan kemudian dikucilkan oleh warga desa Irlandia terkait dengan penolakan masyarakat setempat terhadap rencana penggusuran yang dilakukan oleh Boycott. Ekspresi dari rasa kemarahan dan ketidak-sukaan mereka itulah yang kemudian memancing mereka untuk turut meminta Boycott untuk dapat dikucilkan oleh seluruh elemen masyarakat dalam berbagai sektor kehidupan.
Bertolak dari kejadian tersebut, istilah dan makna boikot pada awal kemunculannya dapat dikatakan terinspirasi dan tidak terlepas dari makna terkait sebuah pengucilan yang direncanakan yakni pengucilan sosial yang dilakukan terhadap tuan tanah atau agen tanah. Dimana pada tahun yang sama, The Illustrated London News menulis, “Mem-‘Boycott’ kemudian sudah menjadi kata kerja aktif yang artinya menyabotase, mengintimidasi, mengusir ke antah berantah, dan menabukan.
Namun seiring berjalannya waktu, makna boikot turut mengalami perluasan makna. Tidak hanya lagi ditujukan pada pengucilan terhadap agen tanah semata namun lebih lanjut makna boikot dalam hal ini juga ditujukan kepada semua orang maupun hal yang notabenenya dibenci oleh mayoritas masyarakat.
Boikot kemudian digunakan sebagai sebuah istilah lazim yang merujuk pada bentuk protes sekelompok orang terhadap sebuah isu, kebijakan, aturan, atau situasi tertentu atau pihak tertentu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia daring, boikot bahkan memiliki arti lebih komplit yakni “bersekongkol menolak untuk bekerja sama (berurusan dagang, berbicara, ikut serta, dan sebagainya).”
Dalam bahasa Indonesia, kata boikot sendiri merupakan kata serapan yang berasal dari bahasa inggris “boycott”. Dikenal sebagai kata serapan, kata atau istilah boikot awalnya merupakan istilah yang dipinjam dari bahasa sumber dikarenakan tidak adanya padanan kata yang sesuai dan pas dalam bahasa target. Oleh karena itulah tidak heran jika kemudian dalam penulisannya pun akan ada kemiripan secara dominan dengan istilah sumber atau asal meski lama-kelamaan mengalami penyerapan dan dibakukan dalam bahasa Indonesia yakni menjadi kata “boikot”. Hal ini senada dengan kata-kata serapan lainnya seperti halnya komputer, adopsi, absensi, akademi, dan lainnya.
Kata serapan dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai kata yang berasal dari bahasa lain (baik itu bahasa daerah maupun bahasa luar negeri) yang kemudian ejaan, ucapan, dan tulisannya disesuaikan dengan penuturan masyarakat Indonesia untuk memperkaya kosakata bahasa tersebut. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata serapan dapat didefenisikan sebagai kata yang diserap dari bahasa lain dengan didasarkan pada kaidah bahasa penerima.
Penggunaan istilah boikot
Penggunaan istilah boikot akhir-akhir ini menjadi viral ditengah-tengah masyarakat. Menariknya, tidak hanya dimaksudkan secara khusus sebagai aksi menyabotase, mengintimidasi, mengusir ke antah berantah, serta menabukan, disesuaikan dengan situasi dan konteks penggunaannya belakangan ini, mayoritas kehadiran makna boikot justru seringkali dikaitkan dengan hal-hal atau nuansa yang lebih positif seperti sebuah aksi kebaikan, sebuah aksi bentuk pertolongan, dan bahkan kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan ibadah dan pahala. Hal ini dapat kita lihat melalui kehadiran korpus bahasa pada kolokasi makna boikot yang muncul secara dominan dimana dewasa ini cenderung digunakan dan dikaitkan dengan kebaikan dan bernuansa positif.
Lebih lanjut, fenomena perluasan makna pada kata boikot ini jika kita telaah kehadirannya tidak dapat terlepas dari kondisi dan situasi masyarakat pemakainya. Hal ini kemudian seakan mempertegas fakta, bahwa berbicara tentang makna dan korpus bahasa tidak akan lepas dari kondisi masyarakat pengguna bahasa tersebut.
Penulis merupakan Dosen Program Studi Sastra Inggris Universitas Andalas