SUMBARKITA.ID — Aksi demontrasi berujung ricuh, menolak disahkannya RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law di hampir seluruh wilayah di Indonesia dikhawatirkan berkembang menjadi konflik horizontal. Ketua PP Muhammadiyah, Busyro Muqoddas mengatakan kerusuhan terus berlarut sehingga dapat mengancam stabilitas sosial, politik dan keamanan dalam negeri.
Busyro menyebut, kerusuhan yang terjadi karena adanya pentikan dari isu level nasional terkait dengan disahkannya RUU Omnibus Law oleh DPR RI.
Dikatakannya, setelah melakukan pengkajian terhadap RUU Cipta Kerja yang kemudian diubah menjadi Omnibuslaw, Muhammadiyah secara resmi pada tanggal 8 Juni 2020 mengirim surat kepada DPR dan Presiden yang intinya menolak dan meminta supaya pembahasan RUU tersebut dihentikan.
“Jadi PBNU sama PP Muhammadiyah itu ada sikap yang sama, intinya keberatan sekali,” katanya dalam keterangan resmi, Sabtu (10/10/2020).
Sementara itu, alasan yang menyebut UU Omnibus Law yang disahkan supaya semakin memperbanyak dan mempermudah lapangan pekerjaan, Busyro mengkritisi hal tersebut.
Menurutnya landasan ideologi dan filosofinya pekerjaan itu harus jelas, karena dalam RUU Omnibus Law pekerja atau buruh ditempatkan sebagai alat industri. Jika buruh hanya ditempatkan sebagai alat industri, maka tidak bisa karena buruh itu adalah rakyat yang berdaulat.
Secara tegas Busyro menyebut secara filosofis dan ideologis tentang proposi buruh harus demokratis, tidak sepihak. Menurutnya dalam UU Omnibus Law ini sepihak, karena hanya menguntungkan investor. Selain kluster pekerja, Busyro juga menyayangkan terkait dimasukkannya kluster pendidikan ke dalam UU Omnibuslaw.
“Katanya kluster pendidikan dikeluarkan, namun nyatanya tetap masuk. Pasal-pasal itu mengindikasikan terjadi liberalisasi dan komersialisasi pendidikan, dan itu sangat membahayakan,” urai Busyro.
Ia juga menyayangkan atas tertutupnya sosialisasi RUU ini dari publik. Padahal sosialisasi adalah untuk membangun partisipasi publik untuk ikut serta membangun produk legal secara partisipastif.
Sehingga masing-masing pihak bebas menilai produk legal tersebut dengan persepsinya sendiri yang tidak terkomunikasikan dengan pembuat UU.
“Padahal untuk meminimalisir gap antara kenyataan dan harapan itulah pentingnya sosialisasi. Yang akomodatif terhadap partisipasi publik. Kalau tidak ada pasti melencengnya jauh,” tuturnya dilansir Fajar.co.id. (ag/sk)
KOMENTAR