Sumbarkita, Padang Pariaman – Kabut tipis masih menggantung di perbukitan Bukit Barisan ketika pagi menyapa Sungai Batang Anai. Airnya mengalir pelan, tampak tenang seolah menyembunyikan luka yang terus menganga. Namun di balik ketenangan itu, aktivitas tambang ilegal galian C jenis pasir dan batu terus berlangsung tak terlihat di permukaan, tapi dampaknya jelas terasa di tepian sungai. Tanah tergerus, rumah-rumah warga hanyut, sekolah runtuh, dan akses jalan terputus. Derita itu sudah berlangsung puluhan tahun bagi masyarakat yang tinggal di sepanjang aliran Sungai Batang Anai, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat.
Sumbarkita menelusuri jejak tambang ilegal ini pada Jumat (13/12/2024). Di sepanjang aliran Sungai Batang Anai, puluhan penambang manual dan truk-truk yang masih beroperasi menjadi pemandangan yang akrab. Sementara penambang yang menggali menggunakan ekskavator saat itu tidak menampakkan aktivitasnya karena sejumlah operasi penertiban yang dilakukan oleh Mabes Polri pada September 2024 lalu.
Jejak Tambang di Batang Anai: Kerusakan Sempadan Sungai, Perubahan Morfologi Sungai dan Pola Aliran Sungai
Di Nagari Balah Hilia, Lubuk Alung, bekas galian tambang ilegal tampak jelas. Tanah berlubang dan berundak mulai ditumbuhi ilalang menjadi tanda bahwa tambang ini pernah bekerja di sana. Namun, dampaknya tak berhenti pada tanah yang bolong. Aliran sungai yang dulunya lurus kini telah berbelok mengarah ke pemukiman warga dan mendekat ke jalan nasional Bukittingi-Padang.
“Sebelumnya, sungainya lurus. Sekarang lihat, sudah bergerak sejauh 200 meter ke pemukiman kami,” ujar Erni (63) warga Korong Balah Hilia, Pasa Kandang.
Erni menjelaskan perubahan aliran sungai mengakibatkan ladangnya hilang. Dia memperkirakan ladangnya yang berubah menjadi aliran sungai sekitar satu hektar. “Dulu di sini ada 600 batang kelapa dan tanaman lainnya, sekarang semuanya sudah hilang,” tambahnya.
Di lokasi lain, tak jauh dari Balah Hilia, cerita pilu datang dari bangunan sekolah yang kini hanya menyisakan lantai keramik putih. Sekolah Dasar itu dulunya berdiri kokoh sejak tahun 2000. Namun, abrasi sungai memaksa sekolah itu pindah sebelas tahun lalu.
Kuslaini (52), seorang ibu rumah tangga di Korong Koto Buruak, menceritakan bagaimana aktivitas tambang ilegal dengan menggunakan ekskavator mulai marak sejak tahun 2005 lalu. “Awalnya, tambang manual saja. Tapi sejak ada mesin, kerusakannya lebih cepat dan parah,” ujar Kuslaini.