Sumbarkita – Pacu Kudo merupakan sebuah tradisi tahunan yang ada di Sumatera Barat (Sumbar). Bukan sekedar ajang perlombaan, tradisi yang selalu menarik perhatian masyarakat Sumbar ini punya sejarah panjang yang terus berkembang seiring waktu.
Tradisi ini sangatlah populer dan diminati oleh berbagai kalangan, sampai-sampai ajang pacu kudo menjadi sebuah acara tahunan yang diselenggarakan pemerintah Sumbar dalam event Sumatera Barat.
Sejarah Pacu Kudo
Menurut Soehardjono (1990), pacu kudo di Minangkabau sudah ada sejak tahun 1889. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan gelanggang pacuan kuda di berbagai daerah, seperti di Bukittinggi, Payakumbuh, Batusangkar, dan Padang Panjang.
Di masa kolonial, gelanggang-gelanggang ini berada di bawah naungan Rembond, sebuah organisasi pacuan kuda yang dibentuk Belanda sebelum akhirnya berubah menjadi Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia (PORDASI) pada tahun 1976.
Pasca kemerdekaan, dua gelanggang baru pun dibangun, yaitu di Kota Solok dan di Pariaman. Sejak saat itu, pacuan kuda di Sumbar mulai diperhitungkan. Di Minangkabau, pacu kudo tidak hanya sekedar olahraga, tapi jadi sebuah kegiatan yang populer di masyarakat. Saking populernya, masyarakat kelas bawah rela menabung berbulan-bulan hanya untuk bisa membeli tiket dan menyaksikan langsung perlombaan ini.
Bahkan, pacuan kuda juga banyak diangkat dalam karya sastra lokal, seperti dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk karya Buya Hamka dan Sengsara Membawa Nikmat karya Sutan Sati. Sayangnya, memasuki tahun 1990-an, popularitas pacuan kuda mulai merosot. Beberapa kali pacuan kuda ditiadakan, bahkan sempat vakum pada tahun 2009 sebelum akhirnya kembali dihidupkan pada tahun 2014.
Beberapa faktor yang menjadi penyebab kemerosotan ini adalah perubahan pola pikir masyarakat dari kalangan agama yang menganggap jika pacu kuda adalah sebuah ajang perjudian. Saat ini, pacu kuda kembali menjadi bagian dari agenda wisata tahunan yang diadakan oleh pemerintah Sumbar. Itulah dia sejarah singkat dari pacu kudo.