Sumbarkita – Tradisi membeli baju baru saat Lebaran sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan Idul Fitri di Indonesia. Kebiasaan ini bukan hanya sekadar soal penampilan, tetapi juga menggambarkan semangat kebersamaan, pembaruan, dan rasa syukur setelah menjalani bulan suci Ramadan.
Namun, tahukah Anda bahwa tradisi ini memiliki akar sejarah yang panjang dan dipengaruhi oleh berbagai faktor budaya dan agama?.
Tradisi membeli baju baru saat Lebaran memiliki akar sejarah yang panjang dan beragam pengaruh budaya. Menurut catatan sejarah, kebiasaan ini sudah ada sejak masa Kesultanan Banten pada tahun 1596.
Pada periode tersebut, masyarakat Muslim di Banten menjelang Idul Fitri berusaha mengenakan pakaian terbaik mereka. Namun, hanya kalangan kerajaan yang mampu membeli pakaian mewah, sementara rakyat biasa biasanya menjahit pakaian mereka sendiri.
Selain itu, pada awal abad ke-20, tradisi ini semakin berkembang. Penasihat Urusan Pribumi untuk Pemerintah Kolonial Belanda, Snouck Hurgronje, mencatat bahwa menjelang Lebaran, masyarakat melakukan pembelian pakaian baru sebagai bagian dari perayaan.
Kebiasaan ini terutama terlihat di Batavia (sekarang Jakarta), yang merupakan pusat perdagangan dan pertokoan. Namun, tradisi ini juga menuai kritik dari pejabat kolonial karena dianggap sebagai pemborosan ekonomi dan memperburuk kesenjangan sosial antara golongan atas dan rakyat biasa.
Pengaruh budaya Barat juga terlihat dalam tradisi ini. Pada masa penjajahan Belanda, masyarakat mulai mengadopsi mode pakaian Barat untuk perayaan Lebaran, meniru gaya berpakaian polisi dan pejabat kolonial. Hal ini menunjukkan adanya asimilasi budaya antara tradisi lokal dan pengaruh kolonial.
Secara keseluruhan, tradisi membeli baju baru saat Lebaran merupakan perpaduan antara ajaran agama Islam yang menganjurkan umatnya mengenakan pakaian terbaik pada hari raya, serta pengaruh budaya lokal. Tradisi ini terus berkembang dan menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan Idulfitri di Indonesia.