Ia menegaskan, tanah seluas 20 hektar dari 40 hektar yang akan dijadikan oleh PT. DDM untuk kebun bunga, kaum Suku Bendang sama sekali tidak menerima ganti satu rupiah pun.
“Oleh sebab itu, kaum suku bendang tetap bertahan di atas tanah ulayat mereka,” lanjutnya.
Dijelaskan lebih lanjut, karena status pengusaan tanah oleh PT. DDM secara HGU bermasalah, maka tanah kaum Suku Bendang tersebut tidak pernah digunakan oleh perusahaan asal Prancis itu.
“Keberadaan PT. DDM hanya bertahan 7 tahun. Sekira tahun 1992 Pemkab Solok membeli lahan yang sudah diklaim berstatus HGU itu. Anehnya, pembelian bukan kepada PT. DDM perusahaan asing asal Prancis. Tapi kepada ‘PT. FR’ dari Kota Padang,” ulasnya.
Berikutnya, pada tahun 1996 semasa Bupati Solok dijabat Gamawan Fauzi, di atas lahan itu dibangun Villa Alahan Panjang Resort yang ditujukan agar perekonomian masyarakat turut hidup. Lahan yang terpakai sekitar 5 hektar.
Namun berikutnya karena menyusul bupati baru mengetahui status lahan itu yang sesungguhnya, maka Villa Alahan Panjang Resort pun tak pernah berjalan sebagaimana mestinya.
“Di masa periode kedua Bupati Gusmal (2015-2020), beliau berjanji akan menyelesaikan duduk persoalan atas status tanah tersebut. Opsinya hanya dua, dikembalikan kepada masyarakat secara utuh atau dengan sistem HPL (hak pengolahan lahan). Tapi hingga berakhir periode kedua Gusmal, persoalan belum terselesaikan,” ucap Asrizal.
Menurut dia, sekitar empat bulan lalu terbentuk Panitia Khusus (Pansus) penyelesaian kasus lahan eks. PT. DDM di DPRD Kabupaten Solok.