SUMBARKITA.ID — Keputusan untuk membuka sekolah tatap muka harus mendapatkan keputusan bersama dari pemerintah daerah, kepala sekolah dan komite sekolah.
Hal ini diungkapkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim dalam agenda keterangan pers perkembangan pemulihan ekonomi nasional di Kantor Presiden, Rabu (25/11) kemarin.
Nadiem menyatakan, sekolah tatap muka bisa digelar kuncinya ada pada izin orangtua yang diwakilkan komite sekolah.
“Komite sekolah adalah perwakilan orang tua dalam sekolah. Jadinya kuncinya, ada di orang tua. Dimana kalau komite sekolah tidak membolehkan sekolah buka, sekolah itu tidak diperkenankan untuk buka,” paparnya.
Meski begitu, pemerintah daerah memiliki hak untuk membuka sekolah mana yang diizinkan untuk dibuka kembali. Alasan untuk dibukanya kembali sekolah tatap muka, menurut Nadiem karena permintaan dari pemerintah daerah itu sendiri.
Pemerintah daerah yang terdiri dari kecamatan hingga desa, bisa menilai sendiri mana daerah yang aman. Selain itu juga bagi sebagian masyarakat sangat sulit untuk melakukan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Lalu dari sisi orang tuanya, tidak perlu khawatir ketika sekolah tatap muka dibuka kembali.
“Jika orang tua merasa tidak nyaman, sekolah tidak bisa memaksa anaknya masuk ke sekolah. Siswa tersebut bisa melanjutkan belajar melalui PJJ. Jadi, hybrid model ini akan terus berada. PJJ bukan berarti berakhir,” paparnya.
Lebih lanjut, Nadiem mengingatkan hal yang harus diketahui juga oleh masyarakat. Yakni ketika sekolah kembali dibuka, tidak seperti kondisi sebelum pandemi.
Pasalnya, kapasitas maksimal dalam satu kelas hanya 50 persen dari total kapasitas. Pihak sekolah juga harus melakukan penjadwalan kegiatan belajar mengajar.
“Sekolah harus melakukan dua shift minimal, agar bisa mematuhi aturan itu. Masker wajib dikenakan, tidak ada aktivitas selain sekolah, tidak ada kantin lagi, tidak ada ekskul (ekstrakurikuler) lagi, tidak ada olahraga lagi. Tidak ada aktivitas yang diluar lagi, siswa masuk kelas dan setelahnya langsung pulang,” jelasnya.
Nadiem mengaku, untuk membuka sekolah tatap muka membutuhkan waktu karena harus memenuhi daftar periksa. Yakni terkait, ketersediaan sarana sanitasi dan kebersihan seperti toilet bersih dan layak, sarana cuci tangan pakai sabun pakai air mengalir atau hand sanitizer dan disinfektan.
Selain itu juga harus mampu mengakses fasilitas pelayanan kesehatan, kesiapan menerapkan wajib masker, memilki alat pengukur suhu badan atau thermogun.
“Jadi daftar periksa itu sangat komprehensif dan pemda akan menggunakan diskresinya. Karena Pemda tahu mana daerah yang sebenarnya rawan dan mana yang lebih aman. Ketika ada yang terkena Covid-19, maka harus langsung ditutup sekolahnya,” tegasnya.
Sebelumnya, sudah ada sejumlah daerah yang berada dalam zona hijau (tidak terdampak dan tidak ada kasus baru) dan zona kuning (risiko rendah) yang membuka sekolah tatap muka. Itupun menerapkan protokol kesehatan yang sangat ketat.
Tercatat, untuk zona hijau sekitar 75 persen sekolah melakukan tatap muka dan zona kuning hanya sekitar 20 sampai 25 persen melakukan tatap muka. (sk/pojoksatu)