Oleh: Rehanda Galih Aprilio
“Politik itu suci, tapi sering kali dikotori oleh tangan-tangan yang mengabdi bukan pada rakyat, melainkan pada syahwat kekuasaan.” Kalimat itu tidak tercetak di buku sejarah, tapi terlukis jelas dalam wajah demokrasi kita hari ini. Di negeri yang kerap mengklaim demokrasi sebagai napas utama, rakyat justru seringkali dibiarkan megap-megap, seolah demokrasi hanya sebatas prosedur, bukan substansi.
Realitas politik Indonesia belakangan ini tidak hanya menyuguhkan drama, tapi juga menghadirkan ironi. Ketika pemilu dijadikan festival lima tahunan yang meriah, publik seolah terbius dalam euforia memilih, tanpa benar-benar tahu apa yang sedang dipilih.
Data dari Indikator Politik Indonesia pada Februari 2024 menunjukkan bahwa hanya 39,5% pemilih muda yang merasa memahami betul visi-misi calon yang mereka pilih. Sisanya? Menentukan masa depan negara dengan insting, ilusi media sosial, atau sekadar ikut-ikutan. Maka, benarlah apa yang pernah dikatakan José Saramago, peraih Nobel Sastra: “Politik hari ini bukan soal memperjuangkan kebenaran, tapi mengelola persepsi.”
Persepsi itu, kini dikendalikan oleh algoritma. Dalam pusaran media sosial yang tak kenal batas, citra menjadi lebih penting daripada rekam jejak. Seorang tokoh bisa dianggap visioner hanya karena mampu menyusun narasi yang enak ditonton di instagram, bukan karena gagasannya berakar dari kajian mendalam. Kita perlahan kehilangan nalar kritis, terhipnotis oleh retorika tanpa isi. Demokrasi tanpa literasi hanyalah panggung kosong yang ramai oleh suara tepuk tangan, tapi tanpa makna.
Lebih menyedihkan lagi, banyak elit politik yang justru memelihara kebisingan ini. Politik transaksional, politik dinasti, dan praktik manipulatif lain masih terus menghantui ruang-ruang kekuasaan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat ada lebih dari 300 kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi sejak 2005. Itu bukan angka, itu adalah potret kegagalan sistem yang membiarkan kekuasaan berjalan tanpa integritas.
Namun, apakah semua ini membuat kita patah arang? Tidak seharusnya. Karena justru dari lubang gelap inilah, cahaya seharusnya lahir. Politik adalah ruang kontestasi, tapi juga ruang harapan. Harapan itu seharusnya tidak dimonopoli oleh segelintir elite, melainkan diperjuangkan oleh mereka yang masih percaya bahwa perubahan bukan mitos. Mahasiswa, akademisi, hingga masyarakat harus menyadari bahwa diam adalah bentuk dukungan paling berbahaya terhadap ketidakadilan.
Jika hari ini politik tampak kotor, maka membiarkannya tanpa campur tangan kaum berakal hanyalah memperpanjang usia kebusukan. Bung Hatta pernah berkata, “Kurang cerdas bisa diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap bisa diatasi dengan pengalaman. Tapi jika tidak jujur, tidak ada obatnya.”
Maka, bila generasi hari ini masih mau bermimpi tentang negara yang bersih, adil, dan berkeadaban, janganlah hanya jadi penonton di panggung politik. Sebab, jika kita terus membiarkan politik dimainkan oleh mereka yang tidak punya idealisme, maka kita akan terus terbangun dalam kekecewaan yang sama, lima tahun sekali.
Rehanda Galih Aprilio Mahasiswa UIN Imam Bonjol Padang