Waktu magang korban itu tidak sesuai dalam aturan Permendikbud Nomor 03 Tahun 2020, Pasal 19 yang berbunyi untuk pembelajaran 1 SKS pada proses pembelajaran berupa jamnya seharusnya 170 menit per minggu, per semester.
“Korban mendapatkan upah sebesar 50.000 Yen (Rp5 juta per bulan) dan korban harus memberikan dana kontribusi ke kampus sebesar 17.500 Yen atau setara sekira Rp2 juta per bulan,” ujar dia.
Korban diberangkatkan pelaku menggunakan visa pelajar yang berlaku selama satu tahun. Namun, setelah habis masa berlaku kemudian diperpanjang oleh pihak perusahaan menjadi Visa kerja selama enam bulan.
Mengetahui masa tugas diperpanjang, korban lantas menghubungi pihak kampus meminta dipulangkan. Namun bukan mendapat respons positif, korban justru korban diancam pihak Politeknik di Drop Out (DO) apabila tidak melanjutkan kerja sama dengan pihak perusahaan Jepang tersebut.
“Berdasarkan hasil penyidikan diperoleh fakta bahwa Politeknik tersebut tidak memiliki izin untuk proses pemagangan di luar negeri, yang mana ketentuan ini diatur di Permennaker Nomor: PER.08/MEN/V/2008 tentang tata cara perizinan dan penyelenggaraan pemagangan di luar negeri,” ujar dia dilansir Merdeka.com.
Politeknik itu tidak memiliki kurikulum pemagangan di luar negeri dan juga menjalin kerja sama dengan pihak luar negeri dalam hal ini perusahaan di Tokyo-Jepang, tanpa diketahui oleh pihak KBRI Tokyo.
Polisi menyebutkan kedua pelaku mendapatkan keuntungan berupa inmateriil setelah berhasil mengirim mahasiswa untuk magang di perusahaan Jepang tersebut. Keuntungan itu berupa dua program studi di Politeknik itu mendapat A dari semula terakreditasi B.
Begitu juga dengan program studi di Politeknik lainnya mendapatkan akreditasi B. Selain itu, program magang ke perusahaan di Jepang itu meningkatkan jumlah mahasiswa baru di kampus tersebut yang sebelumnya di bawah 1.000 orang.