Oleh: Azha Nasywa Zakia
Bumi terus berputar, sementara manusia terus mengalami kemajuan. Kini, perubahan sosial bisa dikejar tanpa harus bangun pagi, apalagi berdesakan di tengah panas matahari. Revolusi digital sudah tiba, dan ia datang lengkap dengan fitur dark mode. Di zaman modern ini, perkembangan teknologi berlangsung sangat cepat.
Generasi yang tumbuh di era ini, yakni Generasi Z atau yang lebih akrab disebut Gen Z yang lahir di kisaran tahun 1997 hingga tahun 2012. Semenjak dini mereka sudah sangat akrab dengan dunia digital dan mereka memiliki pandangan yang cenderung berbeda dalam menyikapi suatu hal atau keputusan bila dibandingkan dengan generasi sebelumnya.
Generasi ini tumbuh dan berkembang dalam era teknologi digital yang serba cepat, yang mana menurut McCrindle & Fell (2021) telah membentuk pola pikir dan perspektif mereka terhadap banyak aspek kehidupan, termasuk pendidikan, pekerjaan, politik, sosial dan isu-isu yang berkembang disekitar mereka.
Sebagai mahasiswa Generasi Z yang telah terbiasa dengan media digital sejak seusia biji jagung, cara belajar mereka tentunya sedikit banyak bergantung pada perangkat digital. Hal ini membuat mereka mampu menyelesaikan berbagai tugas yang berhubungan dengan teknologi digital, seperti menulis makalah, me-review artikel jurnal, menyusun tugas akhir atau skripsi, mendesain poster, menguasai berbagai aplikasi Microsoft, serta berbagai keterampilan lainnya.
Tidak jarang, mahasiswa Gen Z juga memanfaatkan teknologi digital sebagai pekerjaan sampingan untuk menambah pendapatan. Salah satu teknologi yang sering digunakan oleh mahasiswa Gen Z adalah kecerdasan buatan (AI), yang sangat membantu dalam menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan. Menurut Novance (2024), teknologi ini memungkinkan sistem komputer untuk meniru kemampuan intelektual manusia, seperti belajar, memahami, berpikir, dan mengambil keputusan.
Karakteristik mahasiswa Gen Z selain bergantung dengan media digital, juga lebih mandiri dalam belajar dan memutuskan suatu keputusan. Dengan kecanggihan teknologi membuat mereka dapat mengakses apa saja yang berkaitan dengan masalah mereka. Hadirnya berbagai media sosial, membuat mereka dapat melihat berbagai sudut pandang dari suatu kejadian dan dapat memutuskan pandangan mereka sendiri. Media sosial secara tidak langsung menjadikan wawasan mereka menjadi lebih luas dan menjadikan mereka lebih mandiri. Jadi bisa dikatakan, kalau dulu butuh dosen dan juga buku tebal, sekarang cukup dengan sinyal WiFi dan video edukatif dari Tik Tok.
Mahasiswa Generasi Z menerapkan teknologi kedalam cara berpikir dan berinteraksi. Teknologi bukan hanya sebatas untuk hiburan dan komunikasi, tetapi juga untuk menyelesaikan berbagai masalah. Dapat kita lihat bahwa mahasiswa Gen Z cenderung lebih peka terhadap isu sosial dan politik dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Keterhubungan mereka dengan dunia digital membuat mereka lebih sering terpapar pada berbagai isu global yang berkembang di platform tersebut.
Mahasiswa Gen Z menggunakan media sosial untuk mengeksplorasi dan menyuarakan pendapat mereka terhadap isu-isu sosial dan politik, yang mengarah pada perubahan pemikiran yang lebih progresif dan aktif. Penelitian oleh Civics Education Research menunjukkan bahwa generasi ini lebih cenderung berpartisipasi dalam gerakan sosial dan memperjuangkan perubahan, dengan mengedepankan keadilan sosial, perubahan iklim, dan hak asasi manusia.
Perubahan cara berpikir mahasiswa Gen Z juga membawa berbagai dampak signifikan, seperti dalam dunia pendidikan, peningkatan kesadaran akan keberagaman budaya dan status sosial, dan lain-lain. Kepedulian mereka terhadap masalah sosial dan politik ini juga membuat mahasiswa Gen Z memiliki rasakeadilan dan solidaritas yang tinggi. Mereka memanfaatkan media sosial tidak hanya sebagai sarana komunikasi, tetapi juga untuk mengakses informasi, membentuk opini, dan bahkan memengaruhi keputusan politik atau sosial.
Keterampilan mereka dalam berorganisasi secara online juga memberi mereka kebebasan lebih dalam menyuarakan pendapat mengenai isu atau permasalahan yang sedang berlangsung. Ini mencerminkan perbedaan antara Gen Z dan generasi sebelumnya dalam menyampaikan pendapat melalui platform digital. Akan tetapi, segala sesuatu yang berlebihan dan serba instan itu tidak selamanya baik. Wawasan makin luas, tapi kadang tersesat ke akun judi online.
Generesi Z seringkali terpengaruh oleh dampak negatif dari penggunaan media sosial. Dalam media sosial, acapkali terjadinya penyebaran konten-konten yang berbau negatif, seperti pengiklanan judi online, konten pornografi, bullying, konten yang berbau SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan), penipuan, penyebaran berita bohong atau hoax, dan masih banyak lagi yang tentunya akan mempengaruhi sikap dan perilaku mahasiswa Generasi Z.
Dilansir dari CNBC Indonesia (2024), pada tahun 2024 lalu di Florida, Amerika Serikat seorang remaja berusia 14 tahun meninggal akibat kecanduan berkirim pesan dengan karakter chatbot (Character.AI). Remaja tersebut tewas setelah menembak dirinya sendiri dengan pistol milik ayah tirinya.
Akhir-akhir ini permasalahan terkait pinjol atau pinjaman online dan paylater marak terjadi pada Generasi Z yang tergiur dengan iming-iming bunga cicilan yang kecil, tenggat waktu pembayaran yang lama hingga berbulan-bulan, dan juga limit peminjaman dengan angka yang cukup besar jelas terlihat menggiurkan ketika saat terdesak tidak mempunyai biaya. Tak jarang orang yang terlilit pinjol ini menggadaikan benda-benda berharga seperti rumah, kendaraan, dan lain-lain.
Begitupula seperti paylater yang memiliki sistem pembayaran di akhir dengan cara dicicil setiap bulannya. Metode pembayaran paylater ini juga terlihat menarik, karena kita bisa mendapatkan barang yang kita inginkan tanpa harus membayarnya terlebih dahulu. Tetapi sama seperti pinjol, juga membawa dampak yang sama buruknya. Kedua hal diatas menarik bagi Generasi Z karena generasi ini sangat terbiasa dengan segala sesuatu yang serba instan, yang tidak memerlukan proses yang lama.
Informasi dari Kompas.com (2024), berdasarkan data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sekitar 43,9 persen pengguna paylater berasal dari kalangan Gen Z (berusia 26–35 tahun). Mayoritas pengeluaran mereka difokuskan pada fashion (66,4 persen), perlengkapan rumah tangga (52,2 persen), dan elektronik (41 persen). Dari artikel Kompas.com ini juga disebutkan penelitian Indonesia Millennial and Gen Z Report 2025 dari IDN Times bahwa terdapat perbedaan mencolok antara Generasi Z dan Generasi Milenial dalam penggunaan layanan paylater.
Milenial lebih sering memanfaatkan paylater untuk keperluan primer, seperti pembayaran biaya internet sebanyak 57 persen dan pengeluaran rutin sebanyak 55 persen. Sementara itu, Gen Z lebih banyak menggunakan paylater untuk pembelian yang berhubungan dengan life style, seperti travelling dan hiburan sebanyak 54 persen, serta fashion sebanyak 42 persen. Benar-benar definisi dari gaya selangit tapi ekonomi sulit.
Dari beberapa permasalahan diatas, kita memerlukan suatu hal untuk menjaga agar kelebihan ini tetap dalam batas yang wajar, yaitu literasi digital. Literasi digital menjadi salah satu solusi yang diharapkan dapat mengatasi potensi dampak negatif dari penggunaan platform media sosial atau platform digital oleh mahasiswa Generasi Z.
Mengutip dari Khairunnisa (2023), literasi digital merujuk pada pengetahuan dan keterampilan user dalam menggunakan teknologi informasi, termasuk pengoperasian alat daring, internet, dan sebagainya. Keterampilan ini meliputi kecakapan dan keahlian untuk mencari, melakukan, menilai, mengaplikasikan, menganalisis, serta memanfaatkan media digital dengan bijak, hati-hati, dan selaras dengan tujuannya.
Dapat disimpulkan bahwa Generasi Z adalah generasi yang lahir dan berkembang di tengah kemajuan teknologi digital yang pesat, yang memberi mereka kemampuan luar biasa dalam memanfaatkan teknologi untuk berbagai tujuan. Namun, bersamaan dengan perkembangan tersebut, muncul beberapa tantangan besar terutama yang terkait dengan dampak negatif yang dapat timbul akibat ketergantungan pada media digital.
Oleh karena itu, sangat penting bagi mahasiswa Generasi Z untuk meningkatkan literasi digital mereka, agar dapat menggunakan teknologi dengan bijak, cerdas, dan bertanggung jawab. Dengan kemampuan literasi digital yang baik, diharapkan mereka bisa menghindari efek buruk penggunaan teknologi, sekaligus mengoptimalkan potensi mereka untuk menjadi individu yang lebih kritis, kreatif, dan aktif dalam berkontribusi pada berbagai bidang kehidupan, baik sosial, politik, maupun ekonomi. Kan katanya mau merubah dunia, kok masih tidak bisa membedakan mana yang baik atau yang buruk sih?
Azha Nasywa Zakia Mahasiswi UIN Imam Bonjol Padang, Prodi Bahasa dan Sastra Arab