Oleh: Salma Azzahra
Di tengah derasnya arus informasi yang membanjiri ruang digital hari ini, demokrasi menghadapi tantangan yang tidak lagi berbentuk kudeta bersenjata atau represi terang-terangan. Ancaman baru datang dalam rupa yang lebih halus namun tak kalah berbahaya: banjir hoaks, disinformasi, dan polarisasi opini publik. Ini bukan sekadar masalah komunikasi, melainkan krisis demokrasi.
Indonesia, dengan lebih dari 200 juta pengguna internet, menjelma menjadi medan tempur sekaligus laboratorium sosial bagi kebebasan berekspresi dan peredaran informasi. Sayangnya, ledakan digital ini belum diimbangi dengan kecakapan literasi digital yang memadai. Akibatnya, ruang publik kita sering kali disesaki narasi menyesatkan, ujaran kebencian, dan propaganda yang mengoyak kohesi sosial.
Demokrasi Butuh Warga yang Melek Informasi
Di masa lalu, demokrasi cukup dijaga oleh sistem hukum dan mekanisme elektoral. Kini, tantangannya lebih kompleks. Demokrasi abad ke-21 menuntut partisipasi warga yang tak hanya aktif, tetapi juga cerdas secara digital. Literasi digital, dalam konteks ini, bukan lagi sekadar kemampuan teknis menggunakan gawai atau berselancar di media sosial. Ia mencakup kemampuan berpikir kritis, mengevaluasi sumber, memahami konteks, serta bersikap etis dalam meninggalkan jejak digital.
Tanpa kecakapan ini, hak untuk berbicara bebas justru bisa menjadi bumerang. Kebebasan berekspresi tanpa tanggung jawab akan melahirkan kekacauan informasi, yang pada akhirnya melemahkan kemampuan masyarakat untuk mengambil keputusan rasional.
Investasi Jangka Panjang: Pendidikan Literasi Digital
Sudah saatnya negara berhenti menggantungkan nasib kualitas informasi publik pada algoritma platform digital atau kebijakan penegakan hukum yang reaktif. Yang dibutuhkan adalah investasi jangka panjang dalam pendidikan literasi digital. Investasi ini bukan sebagai pelengkap, melainkan fondasi sistem pendidikan.
Kurikulum literasi digital harus dimulai sejak bangku sekolah dasar, dirancang secara kontekstual, dan terus diperkuat hingga tingkat perguruan tinggi. Pendidikan ini tidak boleh kaku, tetapi harus mengikuti dinamika informasi yang berubah cepat, serta mengintegrasikan nilai-nilai kewargaan digital.
Masyarakat Sipil Sebagai Garda Depan
Selain negara, masyarakat sipil memiliki peran strategis dalam membangun budaya literasi. Di banyak daerah, komunitas lokal telah membuktikan bahwa literasi digital bisa tumbuh secara partisipatif. Ketika warga diberdayakan untuk menjadi produsen narasi, bukan sekadar konsumen, maka ruang publik akan dipenuhi dengan suara-suara berintegritas yang menyeimbangkan dominasi wacana destruktif.
Demokrasi sejati tidak hanya hadir setiap lima tahun dalam bilik suara, melainkan hidup dalam keseharian warga yang mampu membedakan mana fakta dan mana manipulasi. Dalam era digital, kemampuan memilah informasi adalah bentuk baru dari partisipasi politik.
Literasi digital adalah hak sekaligus tanggung jawab. Jika kita gagal menjadikannya sebagai agenda nasional, maka kita sedang membuka jalan bagi kekacauan informasi yang bisa melumpuhkan daya pikir kritis bangsa.
Sudah saatnya kita memperlakukan literasi digital bukan sebagai proyek musiman, tetapi sebagai agenda strategis nasional untuk menyelamatkan demokrasi dari keruntuhan diam-diam.*
Salma Azzahra
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Andalas