Muhidi menambahkan bahwa RTRW provinsi ini akan menjadi acuan bagi pemerintah kota dan kabupaten dalam menyusun RTRW di wilayah masing-masing.
“Skala provinsi berbeda dengan kota dan kabupaten, jadi kita terima aspirasi dari bawah untuk disesuaikan dengan RTRW ini,” pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, sejumlah kelompok yang mengatasnamakan diri sebagai Koalisi Masyarakat Sipil Sumbar menolak pengesahan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2025-2045 di tengah sidang paripurna DPRD Sumbar, Senin (17/3).
Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Sumbar, Kelvin, menegaskan bahwa pembahasan Ranperda RTRW tersebut minim partisipasi publik dan tidak melibatkan masyarakat terdampak secara langsung.
“Draft RTRW ini kami nilai cacat substansi karena dalam proses pembahasannya masyarakat tidak pernah dilibatkan. Kami sudah memverifikasi bahwa masyarakat tidak tahu menahu tentang rencana ini,” ujar Kelvin.
Kelvin menyoroti adanya rencana pembangunan proyek energi panas bumi di Gunung Tandikek nagari Singgalang, yang tetap dimuat dalam draft RTRW meski masyarakat setempat secara tegas menolaknya.
“Ini adalah titik intervensi terakhir bagi masyarakat sipil untuk mendesak pemangku kebijakan agar meninjau kembali dan menunda pengesahan RTRW ini,” ucapnya.
Kelvin juga mengkritik proses pembentukan Panitia Khusus (Pansus) yang hanya berjalan selama 19 hari. Menurutnya, waktu tersebut tidak cukup untuk menampung dan mendengar seluruh aspirasi masyarakat.