Bahkan, kala itu, pemerintah nagari telah mencoba melakukan upaya mediasi sebanyak dua kali pertemuan bersama Kadis Pariwisata, Kadis BPM, Kadis Perikanan, dan Satpol PP, termasuk Camat Sutera, Kapolsek, pemuka masyarakat, pemuda, pedagang dan keluarga rumah makan Serumpun Bambu.
Hasil mediasi tersebut disepakati agar pagar tersebut dibuka karena mau masuk lebaran. Dan pedagang pun sepakat mentaati peraturan tentang jam buka dan tutup karoke. Kesepakatan tersebut ditandatangani di atas materai 10.000. Namun ternyata, pagar tersebut tidak juga dibuka sampai lebaran tiba.
Pada lebaran kedua, masyarakat bersama pedagang termasuk pemuda dan tokoh masyarakat setempat membuka paksa pagar tersebut, karena tidak ada pengunjung yang masuk ke tempat wisata Pantai Ayunan Dua Sakato Pasir Alai. Sementara para pedagang sangat berharap di momen lebaran saat itulah bisa mendapatkan rezeki dari pengunjung. Selanjutnya, terjadilah aksi pembongkaran pagar paksa, karena masyarakat beranggapan bahwa tanah yang ada di tepi pantai dan ditanami Pohon Pinus tersebut adalah milik negara. Namun, pihak rumah makan Serumpun Bambu mengklaim bahwa tanahnya berbatasan sampai dengan batu karang ombak badabua.
Setelah pagar tersebut dibongkar, masyarakat pun melaporkan kejadian itu ke Polsek Sutera. Namun ternyata di pagar lagi oleh pemilik rumah makan Serumpun Bambu, dan kemudian dibongkar lagi oleh masyarakat setempat.
Selanjutnya, karena mereka orang yang berpangkat dan punya uang, dipakainya pengacara dan didatangkan media untuk meliput peristiwa tersebut dan seolah-olah keluarganya yang teraniaya. Pada suasana lebaran itu, pihak keluarga rumah makan Serumpun Bambu membuat bangunan permanen di lokasi yang selama ini merupakan jalan utama masyarakat untuk pergi ke wisata Pasir Alai dan akses masyarakat nelayan setempat. Setelah itu, masyarakat tidak lagi merobohkannya, namun berinisiatif untuk membuka jalan baru dibawah pohon Pinus yang berjarak kurang lebih 10 meter dari tepi pantai.
“Sejumlah masyarakat pun dipanggil oleh pihak Polsek Sutera dan dimintai keterangan terkait peristiwa pembongkaran pagar di Pasir Alai. Namun saat itu, masyarakat tidak ada yang dipidanakan,” ujar Rudi.
Setelah lebaran usai, masyarakat nelayan dan pedagang berkegiatan seperti biasa melewati jalan di bawah pohon Pinus tersebut. Namun pihak keluarga rumah makan Serumpun Bambu masih tidak senang hati dan melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak baik, diantaranya membuat ranjau dengan paku sehingga sudah ada pengunjung dan nelayan ban motornya bocor oleh paku tersebut, bahkan ada yang terjatuh ketika melewati jalan tersebut. Selanjutnya diletakkan nya kayu, pancang, dan sampah di tengah-tengah jalan yang akan dilewati oleh pengunjung dan membuat tumpukan pasir sehingga jalan susah dilewati.
Masyarakat dan pedagang setempat mencoba membersihkan ranjau, kayu dan sampah tersebut. Namun, mereka saat itu mendapat caci maki dan kata-kata kotor oleh keluarga rumah makan Serumpun Bambu. Akhirnya, masyarakat dan pedagang tidak lagi membersihkannya, walaupun ada gangguan-gangguan lainnya yang terjadi.
Lebaran telah berlalu, namun kata Rudi, keluarga rumah makan Serumpun Bambu tidak hanya diam sampai disitu saja, penghalangan jalan kembali dilakukan pada akhir tahun 2023 dengan membangun pondok lesehan di jalan masuk Pasir Alai, yaitu mendirikan pondok tempat duduk sebanyak dua buah, dan tentunya kondisi ini sangat mengganggu aktivitas masyarakat, pedagang, dan nelayan setempat.
“Saat itu, masyarakat dan pedagang terpaksa melewati bibir pantai. Kami tahu yang membuat pondok-pondok tersebut adalah Salaudin (suami Sumarni) dan Isap (kakak ipar Sumarni),” kata Rudi.
Menurutnya, hal tersebut tidak dapat diterima oleh masyarakat, pedagang, dan pemuda yang ada di Kampung Alai. Pada malam harinya, pondok-pondok tersebut dibuka dan dibongkar lalu dibawa ke tepi pantai dan dibakar. Diketahui, pondok yang dibangun tersebut belum sepenuhnya siap.
Pembongkaran dan pembakaran tersebut tidak hanya dilakukan oleh satu, dua, atau tiga orang saja. Namun dilakukan oleh banyak orang, lebih kurang 200 orang terdiri dari masyarakat, pedagang dan pemuda turut melakukan aksi pembongkaran dan pembakaran pondok tersebut.
“Sebelum aksi pembongkaran dan pembakaran pondok itu dilakukan, masyarakat sebelumnya sudah melaporkan perbuatan keluarga rumah makan Serumpun Bambu tersebut kepada Wali Nagari Amping Parak dan perangkatnya. Namun tidak digubris dan terjadilah tindakan massa ini,” ujar Rudi.
Ia mengatakan, sebenarnya masyarakat tidak pernah melarang keluarga rumah makan Serumpun Bambu membuat pondok atau tempat duduk untuk berdagang. Tapi janganlah di tengah jalan tempat masuknya pengunjung ke tempat wisata Pasir Alai. Ini artinya keluarga rumah makan Serumpun Bambu tidak lagi punya hati nurani sebagai manusia. Bahkan dengan sombong nya berkata bahwa tanahnya sampai ombak badabua.
“Dan perlu kami luruskan, massa tidak merusak atau membakar rumah makan Serumpun Bambu. Namun yang dibakar saat itu adalah pondok-pondok lesehan yang dibangun di jalan tempat masuknya pengunjung ke wisata Pasir Alai oleh keluarga rumah makan Serumpun Bambu,” ucapnya lagi.
Hingga kini, kata dia, tidak ada pembuktian atau titik terang apakah tanah yang berada di tepi pantai Pasir Alai tersebut milik keluarga rumah makan Serumpun Bambu.
Namun yang lebih menyedihkan bagi masyarakat Kampung Alai, Nagari Amping Parak, Kecamatan Sutera, kenapa pihak keluarga rumah makan Serumpun Bambu melaporkan peristiwa itu ke Polres Pessel, dan hanya menjadikan tiga orang sebagai tersangka dalam kasus tersebut, yakni Iwes (pedagang), Bima (anak dari Iwes) dan Raju (pelajar SMA).
“Sebelumnya di Polsek Sutera tidak duduk perkara tersebut. Namun di Polres Pessel, tiba-tiba duduk pidananya dengan Pasal 170 ayat 1 dan 2. Padahal yang ikut dalam aksi tersebut adalah semua masyarakat yang berdomisili di Kampung Alai, Nagari Amping Parak, Kecamatan Sutera, Kabupaten Pesisir Selatan. Ada apa?,” tuturnya.
Diketahui, kasus perusakan tersebut telah bergulir di Pengadilan Negeri Painan pada Selasa (12/11) kemarin, dengan agenda pembacaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
“Perbuatan para terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 170 ayat (1) KUHP,” kata penuntut umum Yunita Kurniasari saat membacakan dakwaan di Pengadilan Negeri Painan.