Sumbarkita – Setiap musim haji, kita kerap melihat anak-anak ikut serta dalam rombongan jamaah, mengenakan pakaian ihram dan melaksanakan rukun-rukun haji bersama keluarganya. Namun, pertanyaan yang sering muncul adalah: apakah ibadah haji yang dilakukan oleh anak-anak sah menurut syariat? Dan apakah mereka masih wajib berhaji lagi setelah dewasa?
Dalam buku Tuntunan Super Lengkap Haji & Umrah karya Ustaz A. Solihin As Suhaili dijelaskan bahwa salah satu syarat wajib haji adalah telah baligh atau mencapai usia dewasa. Artinya, jika seseorang melaksanakan haji sebelum mencapai usia baligh, maka ibadahnya tetap sah, tetapi belum memenuhi kewajiban haji sebagai rukun Islam yang kelima. Dengan kata lain, ketika ia telah baligh kelak, ia tetap wajib menunaikan haji kembali jika mampu.
Pandangan ini juga diperkuat oleh ulama besar Imam Al-Ghazali dalam Ringkasan Ihya’ Ulumuddin, yang diterjemahkan oleh Abdul Rosyad Shiddiq. Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa haji anak-anak tetap sah secara hukum, terutama jika anak tersebut sudah tamyiz (bisa membedakan antara baik dan buruk) dan mampu melakukan ihram sendiri. Jika belum mampu, maka wali anak diperbolehkan mewakilkannya dalam niat ihram.
Namun, terdapat pula kondisi khusus yang dijelaskan oleh Al-Ghazali: jika seorang anak yang belum baligh mencapai usia baligh saat sedang berhaji, khususnya sebelum atau saat wukuf di Arafah, maka hajinya dianggap sah sebagai haji yang memenuhi syarat kewajiban. Artinya, ia tidak lagi wajib mengulang hajinya setelah dewasa. Dan dalam kondisi tersebut, ia pun tidak diwajibkan membayar dam (denda).
Wukuf di Arafah Jadi Penentu
Dalam konteks haji, wukuf di Arafah merupakan rukun paling esensial. Rasulullah saw. bersabda, “Al-Hajju ‘Arafah” (Haji itu adalah wukuf di Arafah). Oleh karena itu, selama anak tersebut mencapai usia baligh dan sempat wukuf di Arafah sebelum fajar hari raya, status haji wajibnya dianggap telah terpenuhi.
Namun, jika ia baligh setelah melewati wukuf, maka ia tetap harus berhaji lagi di masa depan ketika sudah mampu secara fisik dan finansial.
Kesimpulannya, anak-anak boleh melaksanakan ibadah haji dan hajinya sah, namun tidak menggugurkan kewajiban haji kecuali jika ia mencapai usia baligh sebelum atau saat wukuf di Arafah. Hal ini menunjukkan betapa Islam memberi kelonggaran namun tetap menjaga batas-batas syariat dalam pelaksanaan rukun-rukun ibadah.
Haji anak-anak bukan sekadar pengalaman spiritual dini, tetapi juga pembelajaran mendalam tentang komitmen beragama yang akan mereka pahami lebih matang di usia dewasa.