Sumbarkita – Penggunaan ungkapan Trial By The Press harus digunakan dengan bijak dan beralasan agar tidak hanya menjadi tuduhan tanpa dasar kepada media. Di sisi lain, jurnalis serta perusahaan media dituntut untuk bekerja secara profesional sebagai filter dini dalam mencegah tuduhan Trial By The Press atau penghakiman melalaui pemberitaan oleh media kepada individu atau kelompok.
Hal tersebut menjadi salah satu pembahasan utama dalam Diskusi Publik yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen atau AJI Padang, Kamis (11/7). Hadir sebagai pembicara Syofiardi Bachyul ahli pers Dewan Pers, serta Ilhamdi Putra dari LBH Pers Padang yang dimoderatori oleh Yola Sastra wartawan Harian Kompas.
Istilah Trial by The Press menjadi pembicaraan usai pernyataan Kapolda Sumatera Barat, Irjen Suharyono mengaku menjadi korban Trial by The Press dalam pemberitaan kasus kematian bocah 13 tahun bernama Afif Maulana.
Syofiardi menjelaskan, Trial by The Press merupakan istilah yang dimunculkan oleh pihak-pihak di luar pers lantaran mengalami kondisi dihakimi oleh berita-berita di media sebelum adanya putusan hukum di pengadilan.
“Di luar negeri istilah yang sering digunakan trial by the media. Banyak kasus yang bisa kita baca. Ada yang dihakimi bersalah oleh pemberitaan dan ternyata di pengadilan juga divonis bersalah. Dan ada juga kasus yang mengaku dihakimi oleh media dan di pengadilan ternyata tidak diputuskan bersalah,” ujar Mantan Ketua AJI Padang ini.
Menurut Syofiardi, fenomena Trial By The Press ini muncul jika jurnalis beserta perusahaan medianya tidak bekerja dengan profesional dan tidak menaati kode etik jurnalistik, sehingga menerbitkan berita yang merugikan pihak lain.
Ia menambahkan, jika sebuah berita diterbitkan memenuhi kode etik jurnalistik, maka tidak akan ada pihak yang dirugikan. Sebab, dalam kode etik jurnalistik telah diatur bahwa jurnalis harus independen, menulis berita berimbang serta mengedepankan asas praduga tak bersalah.