John menyebutkan kasus tersebut terjadi pada 2020-2021. Saat itu dirinya belum menjabat sebagai direktur.
Sebelumnya diberitakan, kronologi pengungkapan kasus TPPO itu berawal saat korban berinisial ZA dan FY bersama sembilan mahasiswa lainnya dikirim sebuah Politeknik di Sumbar melaksanakan magang di perusahaan Jepang.
Korban yang merasa dipekerjakan sebagai buruh bukan magang kemudian melaporkan peristiwa dialaminya ke KBRI Tokyo, Jepang. Polisi yang mendapat laporan dari KBRI Tokyo kemudian menangkap G dan EH, selaku direktur Politeknik di Sumbar tempat para korban kuliah dan menetapkan keduanya sebagai tersangka.
“Pada awalnya korban tertarik untuk kuliah di Politeknik tersebut, karena tersangka G yang menjabat sebagai Direktur Politeknik periode 2013-2018 menerangkan keunggulan dari Politeknik tersebut berupa program magang ke Jepang untuk beberapa jurusan yaitu Teknologi Pangan, Tata Air Pertanian, Mesin Pertanian, Holtikultura, dan Perkebunan,” kata Djuhandani saat rilis kasus TPPO jaringan internasional di Gedung Bareskrim, Jakarta, Selasa (27/6/2023).
Korban yang tertarik kuliah di Politeknik tersebut kemudian mendaftar program magang di Jepang selama satu tahun pada 2019. Korban mengikuti seleksi di program studi dan seleksi di tingkat kampus atau akademik untuk magang tersebut.
Hasil seleksi tersebut korban lulus untuk mengikuti program magang di Jepang. Keputusan korban lulus seleksi itu dilakukan oleh EH selaku direktur pada salah satu Politeknik periode 2018-2022.
“Selama 1 tahun magang, korban melaksanakan pekerjaan bukan layaknya magang akan tetapi bekerja seperti buruh,” ujar dia.
Saat magang di perusahaan Jepang itu, korban dipaksa bekerja 14 jam dari pukul 08.00-22.00 WIB, selama sepekan tanpa libur. Sementara untuk istirahat, korban hanya diberikan waktu 10-15 menit untuk makan dan tidak diizinkan untuk melaksanakan ibadah.