SUMBARKITA.ID – Meski sudah tiga tahun dibahas, Peraturan Daerah (Perda) Kota Bukittinggi Nomor 3 Tahun 2022 tentang Pengelolaan Pasar Rakyat justru mendapat penolakan dari para pedagang.
“Perda Pengelolaan Pasar Rakyat sudah dihantarkan sejak 2019. Pembahasan memang cukup alot hingga tiga tahun, karena banyak tarik ulur poin-poin yang masuk dalam Perda tersebut,” ujar Sekretaris Daerah kota Bukittinggi, Martias Wanto, Jumat (4/11/2022).
Dia menuturkan, pasar rakyat merupakan fasilitas perdagangan yang dikelola pemerintah daerah berupa toko, kios, dan lapak berdasarkan Perda Kota Bukittinggi Nomor 22 Tahun 2004.
“Aturan itu tentang pengelolaan dan retribusi pasar yang telah dua kali diubah, terakhir dengan Perda Kota Bukittinggi Nomor 15 Tahun 2013 tentang Retribusi Pasar Grosir dan atau Pertokoan,” jelasnya.
Menurutnya, Perda Pengelolaan Pasar Rakyat bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi pemerintah sebagai pemilik fasilitas ataupun bagi masyarakat sebagai pemakai dan penerima manfaat dari fasilitas.
Di sisi lain, para pedagang yang menolak Perda Pengelolaan Pasar Rakyat, menilai aturan yang dibuat harusnya mengacu kepada undang-undang retribusi.
“Tapi, kenyataannya dalam Perda itu, mereka campurkan antara retribusi dengan pemanfaatan. Contoh, pedagang yang tidak membayar retribusi, maka toko mereka akan disegel. Begitu juga dengan masalah denda yang diatur dalam perda tersebut,” ungkap Awal Bahkri, salah satu pedagang kepada Sumbarkita.id.
Sebelumnya diberitakan, ratusan pedagang di Bukittinggi menggelar aksi unjuk ras menolak Perda Pengelolaan Pasar Rakyat, Selasa (1//11/2022).
Mereka menilai Perda tersebut berpotensi merugikan pedagang. Massa aksi juga meminta kartu kuniung yang merupakan bukti kepemilikan kios pasar di Bukittinggi, difungsikan kembali.
Editor: Fakhruddin Arrazzi