SUMBARKITA.ID — Sepanjang 2009 – 2022 Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatra Barat (Sumbar) mencatat 71 konflik buaya dengan manusia terjadi di Sumbar.
Kepala BKSDA Sumbar Ardi Andono menyebut konflik buaya dengan manusia paling banyak terjadi Kabupaten Agam dengan 29 kejadian.
Diikuti Kabupaten Pasaman dengan 17 kasus, Padang Pariaman 12 kasus, Kota Padang 5 kasus, Kabupaten Pesisir Selaatan 7 kasus dan Kepulauan Mentawai 1 kasus.
“Konflik antara manusia dengan buaya ini terjadi hampir di semua daerah pesisir Sumbar, paling banyak terjadi di Kabupaten Agam,” kata Ardi, Kamis (14/7/2022).
Ardi menjelaskan Kecamatan Tanjung Mutiara Kabupaten Agam merupakan daerah yang paling banyak terjadinya konflik dengan 17 kasus.
“Diikuti Kecamatan Ampek Angkek dengan 6 kasus, Kinali dan Ranah Pasisia di Pasaman Barat 5 kasus,” sebut Ardi lagi.
Baca Juga:
- Pengunjung Kaget, Ada Buaya Berenang di Pantai Padang
- Bunga Rafflesia Tumbuh Mekar di Cagar Alam Batang Palupuh Agam
Ardi menjelaskan konflik buaya dengan manusia kerap terjadi dari Januari sampai Maret dikarenakan musim bertelur.
“April hingga kini buaya tersebut menetaskan telur. Januari sampai Maret itu ada 12 kejadian. Sampai Juni ada 7 kejadian,” kata Ardi.
Di Sumbar, kata Ardi, habitat asli buaya cukup luas, seperti muara sungai Batang Masang, muara sungai sepanjang pantai Sumbar yang memiliki ekosistem rawa dan membentang dari Pesisir Selatan hingga Pasaman Barat.
“Beberapa kawasan itu dilindungi, termasuk hutan lindung, hutan produksi, maupun konservasi,” kata Ardi.
Ia menjelaskan, konflik antara manusia dengan buaya dikategorikan menjadi tiga macam. Pertama, penampakan diri di luar habitat asli, menyerang ternak warga, dan menyerang manusia.
“Buaya yang muncul di habitat asli bukan termasuk konflik karena memang area hidup satwa itu. Manusia hanya kerap terganggu karena menggunakan area yang sama untuk menopang hidup. Jadi, ini seharusnya bisa dihindari,” ujarnya.
Menutut BKSDA Sumbar kemunculan buaya di luar habitat asli sebagai potensi konflik, mengingat kemunculan buaya untuk berjemur merupakan bagian dari perilaku hidup hewan buas itu.
“Jika menimbulkan efek negatif kepada manusia, maka kasus ini layak disebut konflik. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan nomor 46 tahun 2008 tentang Pedoman Penanggulangan Konflik Antara Manusia Dan Satwa Liar,” kata Ardi. (*)