Sumbarkita – Di tengah maraknya perayaan Hari Raya Iduladha, satu tradisi khas masyarakat Minangkabau yang kini mulai jarang ditemui kembali mendapat sorotan: tradisi Malamang, atau proses memasak makanan tradisional lamang. Tradisi ini tidak hanya mencerminkan kekayaan budaya kuliner Minangkabau, tetapi juga nilai sosial dan kebersamaan yang diwariskan secara turun-temurun.
Dilansir dari hasil penelitian berjudul “Lamang dan Tradisi Malamang pada Masyarakat Minangkabau” oleh Balai Pelestarian Kebudayaan Sumatera Barat, tradisi Malamang dulunya merupakan kegiatan rutin yang dilaksanakan secara kolektif oleh masyarakat, terutama menjelang hari-hari besar keagamaan seperti Iduladha, Ramadhan, Idul Fitri, Maulid Nabi, serta dalam rangkaian acara adat seperti baralek (pesta pernikahan) dan peringatan hari kematian.
Lamang, sebagai hidangan utama dalam tradisi ini, merupakan makanan berbahan dasar ketan (puluik) yang dimasak dengan santan, lalu dimasukkan ke dalam batang bambu dan dipanggang menggunakan perapian khusus. Proses memasak yang dilakukan secara tradisional ini memerlukan waktu, tenaga, dan kerjasama yang erat antarwarga.
“Sebelum tahun 1980-an, semarak Malamang begitu terasa. Setiap rumah tangga di berbagai nagari di Sumatera Barat melakukan kegiatan ini bersama-sama di halaman rumah, saling bantu dalam menyiapkan bahan hingga proses pembakaran,” tulis laporan tersebut.
Tradisi Malamang tersebar luas di berbagai wilayah di Sumatera Barat, baik di daerah darek (pedalaman) seperti Solok, Payakumbuh, Agam, dan Tanah Datar, maupun di wilayah pesisir seperti Padang, Pariaman, dan Pesisir Selatan. Bahkan, jejak tradisi ini juga ditemukan di wilayah rantau Minangkabau, seperti Tapak Tuan (Aceh), Mukomuko (Bengkulu), Kerinci (Jambi), Tebing Tinggi (Sumatera Utara), hingga Negeri Sembilan di Malaysia.
Selain nilai kebersamaan dan budaya, lamang juga memiliki nilai ekonomis. Banyak keluarga memanfaatkan pembuatan lamang untuk dijual demi memenuhi kebutuhan rumah tangga. Dalam tradisi adat, lamang juga menjadi simbol penghormatan. Misalnya, lamang kerap dibawa keluarga perempuan saat manjalang ke rumah keluarga laki-laki atau saat menantu perempuan berkunjung ke rumah mertuanya.
Sayangnya, modernisasi dan perubahan gaya hidup membuat tradisi ini semakin jarang dijumpai, terutama di kawasan perkotaan. Aktivitas memasak lamang kini lebih sering digantikan oleh produk instan atau makanan modern yang lebih praktis.
Pelestarian tradisi Malamang menjadi tantangan tersendiri. Diperlukan upaya konkret dari pemerintah daerah, pelaku budaya, hingga generasi muda untuk kembali menghidupkan tradisi ini sebagai bagian dari identitas budaya Minangkabau yang patut dilestarikan.