Menurut Mega, Sumbar tak lagi memiliki tokoh-tokoh nasional yang populer. Padahal, pada masa sebelum dan sesudah kemerdekaan, Sumbar melahirkan banyak tokoh nasional.
“Dulu saya tahunya tokoh dari Sumatera Barat, kenapa menurut saya (sekarang) tidak sepopuler dulu atau memang tidak ada produknya?” ujar Mega.
“Padahal Sumatera Barat ketika sebelum kemerdekaan sampai setelah merdeka sampai selesai juga Bung Karno (sebagai presiden) itu kan tokoh-tokohnya luar biasa ya,” kata dia menambahkan.
Presiden kelima RI itu juga mengenang saat ia berkunjung ke Bukittinggi. Di sana, ia melihat dan merasakan nuansa gotong royong dan nuansa tradisi keislaman yang amat kental.
Kendati begitu, masyarakat di sana menempatkan tokoh adat ninik mamak, alim ulama, dan cadiak pandai (cerdik cendekia) sebagai unsur kepemimpinan di Minangkabau. Tiga unsur itu disebut Tungku Tigo Sajarangan.
“Jadi ke mana para cendekiawan yang dibilang cadiak pandai? Ini benar kan dulu setingkat loh, mungkin yang istilahnya Tungku Tigo Sajarangan alim ulama, cerdik pandai, yang satu lagi penghulu apa, ya? Kan, mendapatkan tempat yang sama di rumah gadang itu,” tutur Mega.
Dalam kesempatan itu, Mega juga merasa heran ketika ia dan putrinya, Puan Maharani jadi sasaran perundungan. Padahal, sepengetahuan Mega, di Sumatera Barat terdapat konsep Bundo Kanduang atau pemimpin wanita di Minangkabau.
Perundungan itu sempat terjadi pada momen Pilkada Serentak 2020. Puan menuai kritik karena pernyataannya yang dianggap menyinggung Sumatera Barat.
Saat itu Puan berharap Sumatera Barat bisa menjadi provinsi yang memang mendukung negara Pancasila.
“Kan, ada Bundo Kanduang, ya? Nah, jadi itu maksud saya apakah itu sudah tidak berjalan lagi?” pungkas Mega. (*/sk)