Dua tahun kemudian, kata Witna, sudah berdiri kantor, yang kemudian difungsikan sebagai kantor UPTD Dinas Pendidikan, dan kelak difungsikan sebagai Kantor UKL Disdukcapil. Bersamaan dengan itu, orang yang menumpang tinggal di tanah Witna itu mengubah pondoknya menjadi rumah permanen dua kamar. Witna heran ketika mendapatkan informasi bahwa pada 2017 keluar sertifikat tanah kantor itu atas nama pemerintah pesisir Selatan.
“Saya mendapatkan informasi bahwa tanah itu dihibahkan oleh orang yang diminta suami saya untuk mengelola tanah saya itu kepada Pemkab Pesisir Selatan. Kalau hibah, tentu ada surat hibahnya. Saya tidak pernah menjual atau menghibahkan tanah kepada siapa pun. Saya curiga orang yang tinggal di tanah saya itu yang menghibahkan tanah tersebut. Saya menduga ini permainan mafia tanah. Kalau tidak ada mafia tanah, mengapa ada sertifikat atas nama Pemkab Pesisir Selatan, sedangkan saya hanya punya sertifikat dasar?” tuturnya.
Setelah anak-anaknya besar dan ia punya menantu, Witna mencari tahu apakah benar ada surat hibah tanah itu dari suaminya kepada orang yang dulu menumpang di tanahnya tersebut. Ia mencari tahu surat itu ke instansi-instansi pemerintahan terkait.
“Pada 2019 saya menggugat orang yang menumpang di tanah saya itu ke Pengadilan Negeri Painan. Di pengadilan itu saya menemukan bahwa tanah saya yang dia tempati dan dibuat kantor itu memiliki akta jual beli, yang menurut saya palsu karena tidak ada materai, tidak ada stempel, dan tidak ada saksi yang hidup. Dalam akta jual beli itu tanah tersebut bersepadan dengan tanah nagari, padahal berdasarkan akta jual beli yang saya miliki, tanah saya bersepadan dengan warga bernama Jusni. Dengan akta jual beli yang diduga palsu itulah terbit sertifikat atas nama Pemkab Pesisir Selatan. Orang itu membuat akta jual beli palsu dengan memalsukan tanda tangan saya dan suami saya. Saya sudah melaporkan kasus dugaan pemalsuan akta jual beli itu ke Polres Pesisir Selatan pada 2022, tapi tidak ada tindak lanjutnya sampai sekarang,” tuturnya.
Karena yakin bahwa tanah itu miliknya, Witna menggugat Pemkab Pesisir Selatan ke Pengadilan Tinggi di Padang. Ia sudah menjalani tiga kali sidang di pengadilan itu pada 2024.
“Pada sidang terakhir enam bulan yang lalu, saya menang. Tapi, sertifikat kepemilikan tanah itu belum dibatalkan atas nama Pemkab Pesisir Selatan. Karena itu, saya harus memasukkan gugatan ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara),” ujarnya.
Witna masih mempertimbangkan untuk memasukkan gugatan ke PTUN sebab ia ingin menyelesaikan masalah itu secara kekeluargaan dengan Pemkab Pesisir Selatan.
“Kantor UKL Disdukcapil itu dulu berdiri ketika Pak Hendrajoni jadi bupati. Saya ingin membicarakan masalah tanah itu dengan Pak Hendrajoni sebagai bupati terpilih. Saya menunggu Pak Hendrajoni dilantik dan mencari kesempatan untuk bertemu beliau untuk membicarakan masalah itu. Saya tidak ingin menggugat Pemkab Pesisir Selatan di bawah kepemimpinan Pak Hendrajoni, apalagi saya relawan Pak Hendrajoni dan Bu Lisda pada Pileg dan Pilkada 2024,” tuturnya. (HA)