“Ini (PRRI, red.) terjadi karena kekecewaan masyarakat Indonesia kepada Presiden Soekarno saat memimpin negara Indonesia yang terbilang bersifat egosentris, masyarakat juga mulai merasa bahwasanya Soekarno hanya memfokuskan pembangunannya di Pulau Jawa saja, sehingga menyebabkan kecemburuan dk pulau-pulau lainnya yang ada di Indonesia,” begitu tertulis di buku tersebut.
Dengan latar belakang tersebut, pada 15 Februari 1958 PRRI pertama kali dideklarasikan oleh perwira militer di Padang bernama Ahmad Husein.
Soekarno menganggap PRRI sebagai gerakan pembelot, sehingga turun militer dari pusat ke wilayah Sumatera Tengah yang mencakup Sumatera Barat, Jambi, Riau, dan Kepulauan Riau sekarang.
Dalam gerakan kali ini, Syafruddin Prawiranegara kembali berperan sebagai pemimpin dengan statusnya sebagai Perdana Menteri, hanya saja kali ini bertentangan dengan Soekarno, berbeda dengan masa PDRI dulu yang sejalan dengan pemerintah pusat.
Syafruddin menyembunyikan dokumen-dokumen PRRI di Nagari Pagadih, ia kembali memercayakan Tuanku Jadid untuk membantunya mengamankan informasi-informasi penting.
Dokumen yang kala itu dipercayakan untuk diamankan oleh Tuanku Jadid adalah isi perundingan Syafruddin Prawiranegara.
Demi mengamankan dokumen itu, Tuanku Jadid membawanya ke Bukit Tontong pada pukul 3 pagi.
Di bukit itu pula kebutuhan harian Syafruddin dicukupi oleh Tuanku Jadid.
Selain Tuanku Jadid, masyarakat lainnya di Pagadih juga mendukung gerakan Syafruddin di PRRI dengan turut menutupi kabar keberadaan dokumen tersebut dari tentara pusat.
Demi menghindari ancaman militer dari pusat, masyarakat Pagadih bahkan membuat lubang-lubang di rumah mereka masing-masing sebagai tempat persembunyian apabila pesawat tempur lewat.(*)
Editor : Hajrafiv Satya Nugraha