Setelah penangkapan Soekarno dan Hatta di Yogyakarta, Belanda melakukan serangan offensive. Perang terjadi dimana-mana. Termasuk di Bukittinggi
“Syafruddin Prawiranegara yang tengah berada di Bukittinggi, pergi ke Bateh Aka yang terletak di Bukit Tontong. Di sanalah Syafruddin Prawiranegara menyebarkan informasi bahwasanya Indonesia masih ada dan kepemimpinan Indonesia dipindah alihkan sementara melalui sender atau alat komunikasi ke seluruh kawasan yang ada di Indonesia,” begitu tertulis dalam buku karya mahasiswa KKN yang diketuai Rezki Ilham Putra.
Dengan kondisi seperti itu, Syafruddin dan para pejuang PDRI melakukan rapat secara sembunyi-sembunyi dan bergerilya di hutan, sungai, gunung, hingga lembah.
Selama 3 bulan masa persembunyiannya di Pagadih, Syafruddin banyak dibantu oleh alim ulama setempat bernama Tuanku Jadid yang turut berperan dalam menyebarkan informasi keberadaan republik Indonesia.
Perjuangan PDRI di Pagadih ternyata menemui rintangan besar, Belanda mengetahui salah satu basis persembunyian pejuang republik tersebut.
Akibatnya, tentara Belanda banyak melakukan intimidasi di Nagari Pagadih demi menguak informasi keberadaan Syafruddin dan rekan-rekannya, bahkan hingga membakar rumah penduduk setempat demi menebar teror.
Tak hanya itu, harta benda, ternak, hingga hasil panen masyarakat Pagadih juga dijarah oleh militer Belanda yang juga berisikan orang-orang Indonesia yang memihak penjajah.
Tindakan kejam itu membuat banyak masyarakat Pagadih mengungsi, antara lain ke Nagari Puah Data, Koto Tinggi, Palupuh, Bonjol, hingga Kumpulan.
Penjabaran sejarah dalam buku ini berlanjut hingga masa setelah Indonesia mendapat kemerdekaan dan kedaulatan penuh, yakni pada masa PRRI, ketika ada perbedaan pendapat dan sikap antara militer di Sumbar dan beberapa daerah lain dengan pemerintah pusat hingga menyebabkan konflik bersenjata.