Walaupun tekanan eksternal meningkat, kata Hefrizal, Indonesia masih memiliki fondasi ekonomi yang relatif kokoh. Ia mengatakan bahwa cadangan devisa nasional mencatatkan posisi di atas USD 135 miliar, setara dengan lebih dari enam bulan impor dan pembayaran utang luar negeri jangka pendek. Ia juga menyebut bahwa inflasi terkendali dalam rentang 2,5–3 persen, dan rasio utang pemerintah terhadap PDB tetap di bawah 40 persen.
Kendati demikian, kata Hefrizal, risiko krisis tidak dapat diabaikan. Ia melihat bahwa jika ketidakpastian berlarut dan kepercayaan investor menurun drastis, arus modal keluar bisa terjadi, yang pada akhirnya melemahkan nilai tukar rupiah.
Hefrizal mengatakan bahwa jika dihadapkan pada kebijakan tarif impor Trump tersebut, Pemerintah Indonesia memiliki pilihan kebijakan yang rumit. Ia mengatakan bahwa di sisi fiskal, dorongan untuk mempercepat belanja infrastruktur, pendidikan, dan perlindungan sosial dinilai strategis untuk menstimulasi permintaan domestik. Namun, katanya, perlu kewaspadaan agar defisit anggaran tetap terkendali, terutama jika pelemahan ekonomi global berdampak pada penerimaan pajak.
Sementara itu, di sisi moneter, kata Hefrizal, Bank Indonesia dituntut untuk menjaga stabilitas nilai tukar melalui intervensi pasar yang terukur dan pengelolaan cadangan devisa yang bijak. Menruutnya, penyesuaian suku bunga pun harus dilakukan dengan cermat untuk menjaga keseimbangan antara mendorong pertumbuhan dan menjaga stabilitas harga.
“Koordinasi erat antara otoritas fiskal dan moneter menjadi kunci. Tanpa itu, respons kita bisa tidak sinkron dan justru memperbesar volatilitas,” tutur Hefrizal.
Di tengah badai kebijakan proteksionis global, Hefrizal berpendapat bahwa strategi kebijakan Indonesia tidak cukup hanya bersifat reaktif. Ia berpandangan bahwa diperlukan pendekatan jangka menengah yang adaptif, komunikasi kebijakan yang konsisten, dan penguatan basis ekonomi domestik untuk memperkuat ketahanan nasional.
“Kebijakan tarif Trump mungkin dibuat demi menyehatkan ekonomi Amerika. Namun, dampaknya melintasi batas negara. Indonesia harus bersiap, tidak hanya bertahan, tetapi juga bangkit lebih tangguh dalam peta ekonomi global yang terus berubah,” ujarnya.