Sumbarkita — Dunia internasional hari ini tidak hanya dihadapkan pada krisis perdagangan global, tetapi juga pada tragedi kemanusiaan yang mendalam, yaitu genosida yang terus berlangsung di Gaza. Kedua fenomena itu, meski sekilas terlihat terpisah, ternyata berkaitan. Di tengah sorotan pada kebijakan tarif impor Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump, tragedi di Gaza perlahan-lahan menghilang dari ruang publik dan media internasional.
Menurut Syafrudin Karimi, pakar ekonomi dari Universitas Andalas, kebijakan ekonomi dalam bentuk tarif bukanlah alat netral. Ia mengatakan bahwa kebijakan tarif itu kini digunakan tidak hanya untuk melindungi ekonomi domestik, tetapi juga untuk mengatur ulang narasi global, mengalihkan perhatian dari kejahatan kemanusiaan, dan melindungi kepentingan geopolitik tertentu.
Syafrudin mengatakan bahwa pada awal April 2025 Trump mengumumkan pemberlakuan tarif dasar sebesar 10 persen terhadap semua negara, dan tambahan tarif hingga 42 persen terhadap negara-negara yang dianggap “tidak adil” dalam perdagangan, termasuk Indonesia. Menurutnya, efek langsung dari kebijakan itu terlihat pada gejolak pasar, perlambatan ekspor, dan terguncangnya hubungan perdagangan multilateral.
Namun, Syafrudin melihat bahwa dampak yang lebih mengkhawatirkan ialah bahwa kebijakan itu menciptakan “kekacauan yang disengaja”. Ia menilai bahwa hal itu merupakan strategi yang membuat perhatian dunia tersita oleh turbulensi ekonomi sehingga tidak lagi mampu fokus pada penderitaan yang nyata di medan konflik, seperti Gaza.
Laporan dari Human Rights Watch dan Amnesty International selama dua tahun terakhir menunjukkan bahwa makin sedikit negara yang secara terbuka mengecam kekerasan sistemik yang terjadi di Gaza. Salah satu alasannya ialah ketakutan terhadap pembalasan ekonomi dari negara-negara besar, terutama Amerika Serikat.
“Ketika hubungan dagang menjadi senjata diplomatik, solidaritas kemanusiaan pun dijadikan sandera,” ucap Syafrudin.