SUMBARKITA.ID — Dua tentara Myanmar mengakui kejahatannya dengan nada datar: eksekusi, penguburan massal, pemusnahan desa, dan pemerkosaan.
Perintah bulan Agustus 2017 dari komandannya jelas, Prajurit Myo Win Tun dalam video kesaksian. “Tembak semua yang kalian lihat dan yang kalian dengar.”
Dia mengatakan dia patuh, terlibat dalam pembantaian 30 Muslim Rohingya dan mengubur mereka dalam sebuah kuburan massa dekat menara sebuah jaringan seluler dan sebuah pangkalan militer.
Di waktu yang sama, di kota tetangga, Prajurit Zaw Naing Tun mengatakan dia dan rekan-rekannya dari batalion lain mengikuti perintah atasannya: “Bunuh semua yang kalian lihat, baik itu anak-anak atau orang dewasa.”
“Kami memusnahkan sekitar 20 desa,” kata Zaw Naing Tun said menambahkan. Dia juga mengubur sejumlah mayat dalam kuburan massal, dikutip dari The New York Times, Rabu (9/9/2020).
Video kesaksian dua tentara ini, direkam oleh milisi pemberontak, adalah pertama kalinya anggota militer Myanmar yang dikenal dengan nama Tatmadaw, secara terbuka mengakui terlibat dalam apa yang disebut pejabat PBB sebagai kampanye genosida terhadap minoritas di negara tersebut.
Pada Senin, dua tentara itu, yang melarikan diri dari Myanmar bulan lalu, dibawa ke Den Haag, di mana Mahkamah Kejahatan Internasional (ICC) telah membuka kasus yang memeriksa apakah para pemimpin Tatmadaw melakukan kejahatan skala besar terhadap Rohingya.
Kekejaman yang dijelaskan oleh kedua pria itu sejalan dengan bukti pelanggaran hak asasi manusia serius yang dikumpulkan dari lebih dari 1 juta pengungsi Rohingya yang sekarang berlindung di negara tetangga Bangladesh. Yang membedakan kesaksian mereka adalah dari pelaku, bukan korban.
“Ini adalah momen monumental bagi Rohingya dan rakyat Myanmar dalam perjuangan berkelanjutan mereka untuk keadilan,” kata Matthew Smith, kepala eksekutif di Fortify Rights, pengawas hak asasi manusia.
“Orang-orang ini bisa jadi pelaku pertama dari Myanmar yang diadili di ICC, dan saksi orang dalam pertama di dalam tahanan pengadilan.”
The New York Times tak bisa secara mandiri mengonfirmasi dua tentara yang terlibat kejahatan yang mereka akui. Tapi rincian narasi mereka sesuai dengan penjelasan puluhan saksi mata dan pengamat, termasuk pengungsi Rohingya, penduduk Rakhine, tentara Tatmadaw dan politikus setempat.
Dan sejumlah penduduk desa secara independen mengonfirmasi di mana lokasi kuburan massal yang disebutkan tentara itu dalam kesaksiannya – bukti yang akan disita dalam penyelidikan di ICC dan proses hukum lainnya. Pemerintah Myanmar berulang kali membantah kuburan massal ada di seluruh wilayah.
Kejahatan yang menurut tentara dilakukan oleh batalyon infanteri mereka dan pasukan keamanan lainnya – sekitar 150 warga sipil tewas dan puluhan desa dihancurkan – hanyalah bagian dari kampanye panjang Myanmar melawan Rohingya. Dan mereka menggambarkan operasi terpadu dan diperhitungkan untuk memusnahkan satu kelompok etnis minoritas.
Pembantaian Rohingya yang mencapai puncaknya pada 2017 menjadi salah satu pelarian pengungsi tercepat di dunia. Dalam beberapa pekan, tiga perempat dari 1 juta orang tanpa kewarganegaraan diusir dari rumah mereka di Negara Bagian Rakhine barat Myanmar, saat pasukan keamanan menyerang desa mereka dengan senapan, parang, dan penyembur api.
Laki-laki tua dipenggal, dan para gadis muda diperkosa, jilbab mereka disobek digunakan sebagai penutup mata, kata para saksi mata dan penyintas.
Organisasi Doctors Without Borders memperkirakan sedikitnya 6.700 Rohingya, termasuk 730 anak-anak, mati akibat kekerasan dari akhir Agustus hingga akhir September 2017. Sekitar 200 pemukiman Rohingya dihancurkan sepenuhnya dari 2017 hingga 2019, kata PBB.
Desember lalu, Daw Aung San Suu Kyi, pemimpin sipil negara itu, membela Myanmar dari tuduhan genosida dalam kasus lain di Pengadilan Internasional di Den Haag. Peraih Nobel Perdamaian, Aung San Suu Kyi menodai pencapaiannya itu karena dukungannya untuk militer dan penolakannya untuk secara vokal mengutuk penganiayaan terhadap Rohingya.
Hanya beberapa tentara Tatmadaw yang dihukum, dengan hukuman penjara singkat, atas apa yang diklaim militer sebagai langkah keliru di beberapa desa.
Meskipun Rohingya berasal dari Negara Bagian Rakhine di Myanmar, pemerintah negara itu mengklaim bahwa mereka adalah penyusup asing. Pejabat Myanmar menuding warga Rohingya membakar desa mereka sendiri untuk mendapatkan simpati internasional.
Cerita kedua tentara itu menghancurkan narasi resmi itu.
Tidak jelas apa yang akan terjadi pada kedua pria tersebut, yang tidak ditahan secara resmi tetapi ditempatkan di bawah tahanan ICC pada Senin. Mereka bisa memberikan kesaksian dalam proses pengadilan dan ditempatkan dalam perlindungan saksi. Mereka bisa diadili. Kantor kejaksaan pengadilan menolak berkomentar secara terbuka atas kasus yang sedang berlangsung, tetapi dua orang yang mengetahui investigasi tersebut mengatakan bahwa dua tentara tersebut telah diinterogasi secara ekstensif oleh pejabat pengadilan dalam beberapa pekan terakhir.
ICC biasanya mengejar penuntutan terhadap tokoh-tokoh tingkat tinggi yang dituduh melakukan pelanggaran berat seperti genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan, bukan tentara berpangkat tinggi.
Pengacara Kanada yang mewakili Bangladesh dalam gugatan terhadap Myanmar di ICC, Payam Akhavan, tak mau mengomentari identitas dua pria itu. Tapi dia menyerukan pertanggungjawaban untuk mencegah kekejaman lebih jauh terhadap 600.000 Rohingya yang masih berada di Myanmar.
“Impunitas bukan sebuah pilihan,” ujarnya.
“Sejumlah keadilan lebih baik daripada tak ada keadilan sama sekali.”
Kesaksian dua tentara ini juga akan menambah bobot pada kasus terpisah di Mahkamah Internasional, di mana Myanmar dituduh mencoba untuk “menghancurkan Rohingya sebagai sebuah kelompok, secara keseluruhan atau sebagian, dengan menggunakan pembunuhan massal, pemerkosaan dan bentuk lain dari kekerasan seksual, serta pengrusakan sistematis dengan membakar desa mereka.
Kasus itu diajukan tahun lalu oleh Gambia atas nama 57 negara Organisasi Kerjasama Islam. Pekan lalu, Belanda dan Kanada mengumumkan akan memberikan dukungan hukum untuk upaya meminta pertanggungjawaban Myanmar atas genosida, menyebutnya sebagai masalah “yang menjadi perhatian semua umat manusia.”
Membunuh Tanpa Pandang Bulu
Pada Agustus 2017, Batalyon Infanteri Ringan 353 dan 565 melakukan “operasi pembersihan” di daerah-daerah di mana orang-orang mengatakan mereka melakukannya, Kota Buthidaung dan Maungdaw. Perwira komandan yang dikatakan Prajurit Myo Win Tun memerintahkannya untuk memusnahkan Rohingya – Kolonel Than Htike, Kapten Tun Tun dan Sersan Aung San Oo – sedang beroperasi di sana pada saat itu, menurut sesama prajurit.
Ada menara seluler di dekat pangkalan Batalyon Infanteri Ringan 552, di pinggiran kota Taung Bazar, dekat tempat Prajurit Myo Win Tun mengatakan dia membantu menggali kuburan massal. Pangkalan tersebut terkenal di daerah itu karena, bersama dengan puluhan pos penjaga perbatasan, diserang oleh pemberontak Rohingya pada 25 Agustus 2017, yang memicu operasi militer brutal terhadap warga sipil Rohingya.
Pengungsi Rohingya yang tinggal di sebuah desa yang berdekatan dengan perkemahan 552 mengatakan mereka mengenali Prajurit Myo Win Tun. Mereka mendeskripsikan secara rinci lokasi dari dua kuburan massal di daerah itu. Penduduk yang masih berada di wilayah tersebut, yang berbicara dengan The New York Times, juga mengatakan mereka mengetahui situs pemakaman massal di dekat perkemahan militer.
Basha Miya, yang sekarang mengungsi di Bangladesh, mengatakan neneknya dikubur di salah satu kuburan massal dekat pangkalan militer itu, bersama 16 orang lainnya dari desa tetangga Thin Ga Net, dalam bahasa Rohingya dikenal sebagai Phirkhali.
“Ketika saya mengingatnya, saya hanya menangis,” ujarnya.
“Saya sedih tak bisa memakamkan beliau dengan layak.
Para saksi mata mengatakan, setelah para tentara melempar mayat di dua kuburan massal di pinggir kanal sungai, mereka membawa buldoser untuk menutup kuburan itu. Myo Win Tun mengaku dia dan prajurit lainnya mengubur delapan perempuan, tujuh anak-anak, dan 15 pria dalam satu lubang.
Desa Thin Ga Net dihapus dari peta oleh api. Saat ini, hanya beberapa waduk yang mengisyaratkan bahwa desa Rohingya yang ramai pernah berdiri di sana.
Saat mereka mengobrak-abrik desa-desa di sekitar Taung Bazar, Prajurit Myo Win Tun (33) tampaknya kehilangan jejak berapa banyak Rohingya yang dia dan batalionnya bunuh. Apakah itu 60 atau 70? Mungkin lebih?
“Kami tanpa pandang bulu menembak semua orang,” katanya dalam video kesaksian.
“Kami menembak pria Muslim di dahi dan menendang tubuhnya ke dalam lubang.”
Dia juga memperkosa seorang perempuan, katanya.
Prajurit Zaw Naing Tun, mantan biksu Buddha, mengakui kekejaman yang sama, saat batalionnya membunuh sekitar 80 Rohingya. Tentara itu mengatakan dia dan anggota batalionnya yang lain menyerbu 20 desa di Kotapraja Maungdaw, termasuk Doe Tan, Ngan Chaung, Kyet Yoe Pyin, Zin Paing Nyar dan U Shey Kya.
Beberapa dari desa ini dibakar habis. Bashir Ahmed mengatakan bahwa batalion Tatmadaw memasuki kampung halamannya, Zin Paing Nyar, pada awal 26 Agustus 2017.
“Mereka melepaskan tembakan setiap kali menemukan seseorang di depan mereka,” katanya. “Mereka membakar rumah kami. Tidak ada yang tersisa. ”
Lebih dari 30 warga tewas di Zin Paing Nyar, menurut kesaksian para penyintas.
Prajurit Zaw Naing Tun (30) mengatakan, dia dan empat anggota batalionnya menembak mati tujuh Rohingya di Zin Paing Nyar. Mereka menangkap 10 pria tak bersenjata, mengikat mereka dengan tali, membunuh mereka dan menguburkan mereka di kuburan massal di utara desa, katanya dalam kesaksian video.
Ada beberapa perbedaan antara pengakuan tentara dan penduduk desa Rohingya. Prajurit Myo Win Tun menggambarkan menara seluler itu berada di sebelah timur pangkalan 552 padahal sebenarnya berada di barat daya.
Tetapi sebagian besar rincian lainnya dikuatkan oleh pernyataan dari para saksi dan penyintas. Di desa Ngan Chaung, yang sebagian terhindar dari kehancuran, lima atau enam tentara dari Batalyon Infanteri Ringan 353 tiba pada suatu sore di akhir Agustus 2017 dan memilih lima perempuan untuk diperkosa, kata seorang penduduk yang masih tinggal di dusun tersebut. Suami perempuan itu kemudian dibunuh, katanya dan warga lainnya.
Prajurit Zaw Naing Tun mengatakan dia tidak melakukan kekerasan seksual karena pangkatnya terlalu rendah untuk berpartisipasi. Sebaliknya, dia berdiri sebagai penjaga ketika orang lain memperkosa perempuan Rohingya.
Kedua tentara yang mengaku membunuh Rohingya adalah anggota dari etnis minoritas di negara tempat penganiayaan terhadap kelompok-kelompok tersebut dilembagakan.
Awal tahun ini, kedua tentara itu berakhir di tahanan Tentara Arakan, milisi etnis Rakhine yang saat ini melawan Tatmadaw, yang merekam pengakuan video mereka. Kedua pria itu mengatakan bahwa mereka meninggalkan Tatmadaw.
Desersi adalah masalah khusus di zona konflik etnis minoritas, kata orang dalam militer. Sekitar 60 tentara diyakini telah meninggalkan AWOL dari Light Infantry Battalion 565.
“Saya didiskriminasi secara rasial,” kata Prajurit Myo Win Tun, seorang anggota kelompok etnis Shanni, dalam kesaksian videonya, dalam ledakan perasaan yang jarang terjadi.
Kemudian, dia menggambarkan, dengan suara datar, bagaimana komandannya, Kolonel Than Htike, telah menginstruksikan batalion untuk “memusnahkan” Rohingya.
“Saya terlibat dalam pembunuhan 30 pria, perempuan, dan anak-anak Muslim tak berdosa yang dikuburkan di satu kuburan,” katanya, sambil menatap kamera dengan tenang. (AG/SK)