SUMBARKITA.ID — Organisasi lingkungan hidup internasional, Greenpeace Indonesia ikut menyoroti banjir besar yang melanda beberapa daerah, terutama di Kalimantan Selatan yang hingga saat ini belum surut.
Dikutip dari lama Twitter resminya, Greenpeace Indonesia menduga ada korelasi antara pengesahan dan pemberlakuan Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) dengan kerusakan alam di Kalsel yang menjadi pemicu utama banjir besar tahun ini.
Tak hanya UU Minerba, aturan baru yang menuai protes keras dari berbagai elemen masyarakat yakni Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) juga menjadi para perusahaan tambang dan perkebunan dengan mudah melakukan perusakan alam.
Bahkan Greepeace Indonesia menyebut dua perusahaan nasional milik politisi dan menteri yang dengan mudah mendapat izin konsesi tambang batu bara di Kalsel.
Berikut unggahan lengkap Greenpeace Indonesia di akun Twitter miliknya @GreenpeaceID:
Tahun 2020, DPR & Pemerintah mengesahkan revisi UU Minerba di tengah Pandemi demi menyelamatkan industri tambang batubara. Bagaimana UU Minerba dan UU Cipta Kerja berkontribusi membuat bencana banjir seperti di Kalsel lebih parah dan lebih sering terjadi di masa depan?
Salah satu perusahaan batubara yang baru saja merasakan ‘kenikmatan’ UU Minerba adalah PT Arutmin Indonesia, milik Bakrie Group, yang kontraknya diperpanjang untuk beroperasi dalam jangka waktu 2×10 tahun di lahan lebih dari 57.000 hektare di Kalimantan Selatan.
Lalu PT Adaro milik keluarga Erick Thohir (Menteri BUMN) yang memiliki konsesi tambang batubara 31.380 hektar di KalSel juga dapat perpanjangan izin. Tak hanya mengatur perpanjangan izin, UU Minerba juga mengatur fleksibilitas perluasan lahan hanya dengan persetujuan menteri.
Padahal di berbagai negara lain, batubara mulai dikurangi bahkan dihentikan penggunaannya akibat berbagai dampaknya kepada lingkungan dan kontribusinya yang besar terhadap perubahan iklim Bumi kita. Di Indonesia diberikan karpet merah.
Melalui UU Cipta Kerja, Industri Batubara diberikan royalti 0% meningkatkan nilai tambah produksinya. Padahal regulasi sebelumnya perusahaan wajib membayar royalti hingga 7% dari laba bersih pada pemerintah pusat/daerah & menjual 25% batubara ke pasar domestik dengan harga rendah.
Kebijakan royalti 0% ini adalah kesalahan besar, dengan memberikan insentif bebas royalti untuk pengusaha batubara semakin mengeruk sumber daya yang ada. Industri batubara jadi anak emas pemerintahan Jokowi dengan mengobral banyak insentif.
Batu bara kian mendominasi bauran energi negeri dan menutup ruang bagi energi terbarukan.
UU Cipta Kerja pun menghapus ketentuan 30% kawasan hutan. Padahal dalam lima puluh tahun terakhir, lebih dari separuh hutan hujan Kalimantan telah dihancurkan. Bukannya direhabilitasi kembali menjadi hutan, kini malah berganti hamparan perkebunan sawit dan lubang tambang batubara.
Penghancuran hutan hujan dan pembakaran batubara menyebabkan suhu bumi meningkat, memanaskan suhu lautan dunia dan pada akhirnya menyebabkan Krisis Iklim dengan semakin banyak terjadinya cuaca ekstrem di berbagai daerah di dunia.
Jika tidak kita hentikan, maka dampak Krisis Iklim akan semakin luas dan lebih parah. Kita telah menyaksikan kebakaran hutan di Australia, banjir awal tahun 2020 di Jakarta, banjir bandang di Kalsel, suhu dingin yang ekstrem di Korsel, Cina dan Jepang yang terjadi saat ini.
Kita harus berhenti membakar batubara dan minyak bumi, dan beralih ke energi yang terbarukan, menjaga hutan kita yang masih tersisa dan menghijaukan kembali yang sudah rusak, bijak dalam pola konsumsi kita.
Lebih suka gambar yang mana?
Jadi Pak @jokowi, jika Anda benar peduli dengan para korban bencana yang terjadi saat ini, jangan hanya mengirimkan perahu karet, cabut UU Cipta Kerja dan UU Minerba, sahkan RUU Masyarakat Adat dan dorong RUU Energi Terbarukan. (*/sk)