Sumbarkita – Fenomena LGBT menjadi salah satu isu yang dibahas dalam debat calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Pariaman, di Balaikota Pariaman Minggu (3/11).
Moderator Aidinil Zetra mengatakan LGBT dianggap sebagai fenomena sosial yang meresahkan masyarakat di Pariaman. Ia juga mengingatkan adanya Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2018 tentang Ketenteraman dan Ketertiban Umum yang memuat aturan pelarangan LGBT di wilayah ini. Namun, hingga kini regulasi tersebut dinilai belum efektif menekan angka kasus LGBT di Pariaman.
Menjawab pertanyaan itu, Mardison Mahyuddin dari paslon nomor urut 02 menyebut LGBT sebagai penyakit masyarakat yang menurutnya, berdampak negatif terhadap nilai-nilai sosial di Pariaman. Ia mengklaim bahwa fenomena ini bukan berasal dari penduduk lokal, tetapi dari pendatang yang masuk ke kota tersebut. Untuk menanganinya, ia menegaskan perlunya pendekatan tegas dari pemerintah, bukan sekadar imbauan atau peringatan, melainkan sanksi berat yang mampu menimbulkan efek jera.
“Kami akan membangun budaya tegur dan ketegasan untuk menindak para pelaku LGBT. Jika hanya diberi peringatan, tentu tidak akan ada efek jera,” ujar Mardison.
Ia juga menambahkan bahwa keterlibatan tokoh adat dan pemuka agama sangat penting dalam memberantas LGBT di Pariaman. Menurutnya, kolaborasi antara pemerintah, aparat, dan seluruh elemen masyarakat dapat memastikan bahwa fenomena ini benar-benar bisa dituntaskan.
Mulyadi, calon wakil wali kota dari paslon nomor urut 03, menyampaikan pendekatan berbeda. Menurutnya, LGBT dan fenomena negatif lainnya di Pariaman dipicu oleh lemahnya kontrol terhadap aktivitas-aktivitas yang mendukung perilaku menyimpang. Ia menyoroti keberadaan hiburan organ tunggal yang sering berlangsung hingga dini hari sebagai salah satu faktor yang mengganggu ketertiban umum.
“Kami berencana mengusung program yang memperkuat nilai keagamaan dan adat-istiadat sebagai benteng moral bagi masyarakat,” ujar Mulyadi.