SUMBARKITA.ID — Gusdurian Padang, menggelar pertemuan secara virtual bertajuk “Merdeka dalam Keberagaman” pada Sabtu (20/8/2022).
Kegiatan ini menghadirkan Ibrahim Zargar dari Iran. Murnilam Lase dari Pelita Padang dan Aidil Aulya salah satu penggerak rumah Moderasi beragama (RMB) UIN Imam Bonjol.
Diskusi ini menitikberatkan pembahasan pada wacana toleransi di Indonesia dan Sumatra Barat. Dimana ide-ide Gusdur yang merupakan salah satu tokoh toleransi dikembangkan sedemikian rupa oleh pemateri.
Aidil Aulya menyebutkan banyak pemikiran Gusdur yang relevan dan tidak akan pernah habis untuk didiskusikan soal toleransi. Pemikiran Gusdur soal toleransi jauh menjangkau masa.
“Gusdur adalah lembaran sejarah yang tidak akan pernah habis untuk dibicarakan. Pemikiran yang dia lontarkan selalu relevan dengan apa yang kita temukan sekarang,” kata Aidil Aulya.
Dimasa kemerdekaan ini, pemikiran Gusdur untuk merdeka dan bertoleransi bisa menyumbangkan kehidupan yang harmonis dan mem-Bhineka Tunggal Ika.
“Gusdur adalah orang yang sangat peduli terhadap toleransi. Pemikiran beliau sangat luar biasa untuk menghiasi harmonisasi di masa kemerdekaan ini,” kata Aidil lagi.
Senada, Murnilam Lase dari Pelita Padang, salah satu pembicara dalam diskusi ini menyatakan di usia kemerdekaan RI ke 77 tahun, belum terlihat kemerdekaan yang seutuhnya. Hanya segelintir orang saja yang baru menikmati kemerdekaan dan hal ini mendorong bibit konflik minoritas dengan mayoritas bisa terjadi di masa yang akan datang.
“77 tahun kita merdeka, namun belum juga merdeka seutuhnya. Kemerdekaan hanya berlaku bagi sebagian orang saja. Di Sumatra Barat polemik antara mayoritas dan minoritas masih kerap terjadi.” ucap Munilam Lase.
Ia melihat bahwa tindakan intoleransi terjadi secara vertikal dan horizontal. Sebagian masyaratakat masih jauh dari sikap dan toleran.
Tidak hanya itu dia juga melihat bahwa intoleransi di Sumbar juga ditunjukan oleh Pemerintah lewat berbagai kebijakan.
“Ketidakmampuan untuk menerima perbedaan sering menimbulkan tindakan yang intoleran. Di Sumbar tentu kita masih ingat beberapa tahun lalu ada kasus pemaksaan berjilbab dengan berbagai alasan-alasan. Mulai dari alasan agar serasi atau biar terlihat rapi,” katanya.
Untuk mencapai rasa toleransi antar umat dan beragama di Sumatera Barat, masyarakat harus memahami falsafah toleransi itu sendiri. Kemudian mengaplikasikannya ke dalam diri sendiri. Agar terjalin hubungan sosial yang harmonis, walaupun memiliki perbedaan secara karakter dan keyakinan.
“Kedepannya kita bisa mengurangi tindakan intoleran yang dimulai dari diri sendiri. kita tidak mungkin sama meski kita selalu hidup bersama-sama dalam perbedaan.” ucapnya lagi.
Ibrahim Zargar, salah satu pegiat Internasional Culure Center of Rahmatan lil Alamin (ICCORA) Iran menyebutkan perbedaan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Dalam keluarga saja kerap ada perbedaan apalagi dalam sebuah bangsa. Namun, dalam perbedaan inilah tercipta variasi dan warga masyarakat untuk menciptakan sosial yang kompleks.
“Yang seharusnya kita lakukan adalah menerima perbedaan yang telah ada. Perbedaan itu indah dan memperlihatkan karakter masing-masing. Namun, untuk mewarnainya harus dengan cara yang positif,” katanya. (*)
Editor : Hajrafiv Satya Nugraha