Kendati begitu, Joel mengaku masih nyaman menjalani hidup sebagai penato walau tidak menghasilkan pendapatan yang tetap.
Ia juga tidak mengharapkan banyaknya event, walaupun itu akan mendatangkan pundi-pundi uang lebih bagi Joel.
“Hati-hati juga jak (panggilan laki-laki dalam Bahasa Mentawai), nanti ada yang memanfaatkan untuk kepentingan politis,” ungkapnya.
Lebih lanjut, ia menyebut bahwa tato Mentawai sempat hampir punah di generasi orang tuanya.
“Karena pelarangan oleh pemerintah dan masuknya agama serta pegiat atau sipatiti penatonya juga sudah susah ditemui,” ungkapnya.
Pasalnya, tradisi tato sejalan dengan kepercayaan tradisional masyarakat Mentawai, Arat Sabulungan. Kepercayaan yang sangat menghormati alam sebagai entitas sakral.
Kala itu, pemerintahan orde baru sempat melarang bentuk-bentuk penerapan kepercayaan Arat Sabulungan.
Pelarangan terhadap pengamalan kepercayaan lokal tersebut berlangsung sejak 1954.
Bahkan pada 1970 hingga 1980-an, pelarangan itu mencapai puncaknya, orang-orang yang dengan terbuka menunjukkan pengamalan Arat Sabulungan dicari aparat pemerintah dan akan disanksi.
Beruntung, saat ini sudah banyak anak muda Mentawai yang tertarik merajah tubuhnya dengan rajah tradisional itu.
Bahkan, kini Joel mengaku sering mendapatkan pelanggan selain orang Mentawai asli. Para pengunjung dari luar negeri pun banyak yang bangga ketika sudah dirajah dengan cara tradisional Mentawai.
Kini, Joel mengaku sedikit lebih merdeka dari generasi pendahulunya yang menurutnya seperti terjajah oleh bangsa sendiri.
Melalui Sitasi Mattaoi, Joel dan kawan-kawan satu pemikiran ingin menghidupkan kembali tradisi tato Mentawai sebagai penghargaan terhadap budaya lokal.
Sitasi Mattaoi sendiri kurang lebih berarti “Kita Mentawai”.
Kendati begitu, anggota Sitasi Mattaoi tersebar di beberapa daerah, bahkan ada yang di luar negeri.
“Jumlah anggotanya tentatif, kalau yang tetap kita lima orang, selebihnya kami memiliki anggota komunitas dari beberapa daerah termasuk juga luar negri,” pungkasnya. (*)
Editor: RF Asril