Pariaman – Berdasarkan audit tahun 2022 Badan Pemerika Keuangan (BPK) terhadap Rumah Sakit Pemerintah Provinsi Sumatera Barat yaitu RSUD Pariaman, terungkap ada pinjam meminjam obat oleh Rumah sakit tersebut, dari dan kepada pihak luar.
Dalam Laporah Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK terungkap bahwa pinjam meminjam oleh RSUD Pariaman dari dan kepada pihak luar, tidak dilaporkan dalam laporan stock opname sebagai dasar pencatatan persediaan pada laporan keuangan masing-masing entitas. Oleh karenanya, pada saat stock opname persediaan ditemukan selisih antara jumlah fisik persediaan dan jumlah tercatat.
Transaksi pinjam meminjam obat dengan beberapa pihak tersebut hanya didukung oleh tiga Memorandum of Understanding (MoU) yaitu antara RSUD Pariaman dengan RS Aisyiah, RS Sadikin dan RSUD Padang Pariaman. MoU tersebut mengatur terkait hak dan kewajiban para pihak, tata cara peminjaman perbekalan farmasi, jangka waktu peminjaman dan lain sebagainya.
Rincian MoU tersebut yakni antara RSUD Pariaman dengan RS Aisyiah Nomor 445/339/RsPr/X/2017 tanggal 3 Januari 2017 yang berlaku sampai dengan 31 Desember 2017, RSUD Pariaman dengan RS Sadikin Nomor 445/339/RsPr/X/2019 tanggal 4 November 2019 yang berlaku sampai dengan 31 November 2020, dan RSUD Pariaman dengan RSUD Padang Pariaman Nomor 445/2007/RsPr/I/2017 tanggal 16 Juni 2017 yang berlaku sampai dengan 31 Desember 2017.
Hasil pemeriksaan lebih lanjut oleh BPK menunjukkan bahwa tidak terdapat perpanjangan atas MoU. Dengan demikian, MoU antara RSUD Pariaman dengan ketiga pihak tersebut saat ini sudah tidak berlaku lagi.
Kondisi tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan Pernyataan Nomor 05 tentang Akuntansi Persediaan, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah.
Hal ini mengakibatkan risiko obat dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP) pada RSUD Pariaman tidak tertagih atas transaksi peminjaman obat dan BMHP dari dan kepada pihak ketiga yang belum didukung dengan MoU.
BPK menyimpulkan kondisi ini terjadi karena Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat kurang melakukan pengendalian dan pengawasan administrasi persediaan di lingkungan satuan kerjanya.
Selain itu, BPK menilai Direktur RSUD Pariaman kurang dalam mengendalikan persediaan obat dan BMHP melalui penyusunan MoU yang memadai terkait peminjaman obat dan BMHP dari dan kepada pihak lain.
Selanjutnya, Kepala Instalasi Farmasi dan Tenaga Teknis Kefarmasian pada RSUD Pariaman tidak tertib dalam administrasi persediaan obat dan BMHP yang berada di bawah tanggung jawabnya.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat, dr. Lila Yanwar dan Direktur RSUD Pariaman, dr. Mutiara Islam, ketika dikonfirmasi mengaku sedang berupaya untuk mendapatkan klarifikasi dari pihak terkait sebelum memberikan penjelasan. ***