Oleh: Salsa Auliamri Putri
Sebagian wilayah Kabupaten Agam dan Tanah Datar Sumatera Barat (Sumbar) luluh lantak diterjang banjir bandang lahar dingin Gunung Marapi. Beberapa waktu sebelumnya Pesisir Selatan juga porak poranda akibat banjir bandang.
Dua bencana tersebut menimbulkan kerugian besar. Banyak bangunan roboh dan hanyut terutama di kawasan sempadan sungai, misalnya di Lembah Anai Tanah Datar. Siapa yang bertanggung jawab atas bencana ini?
Pengamat Lingkungan Hidup Universitas Negeri Padang, Indang Dewata menyebut kejadian ini merupakan gabungan dari bencana alam dan bencana lingkungan. Sebagai gunung api aktif, Marapi akan terus menyemburkan abu vulkanik yang berpotensi membuat kolam-kolam air. Kolam-kolam tersebut ketika hujan akan menjadi tempat penampungan air. Jika hujan lebat, maka air akan berubah menjadi lahar dingin dan mengalir ke daerah lebih rendah di aliran sungai.
Dari sisi bencana lingkungan, daerah tepian sungai seperti Lembah Anai yang merupakan daerah resapan air dan sekaligus cagar alam, seharusnya tidak boleh ditempati. Namun pada kenyataannya, di daerah tersebut justru banyak berdiri bangunan.
Forum Daerah Aliran Sungai (DAS) pernah memberi pernyataan dan berkali-kali mengingatkan semua pihak mematuhi peraturan yang melarang pembangunan dalam radius 50 meter dari sungai kecil dan 100 meter dari sungai besar.
Namun, sebagian warga rupanya mengabaikan imbauan tersebut. Faktanya, banyak warga mendirikan bangunan di sekitar area sungai dengan dalih untuk usaha. Kondisi ini dengan mudah dijumpai di sepanjang sungai kawasan Lembah Anai Tanah Datar dan Kabupaten Pesisir Selatan.
Sebagaimana diketahui, sebelum bencana lahar dingin Marapi, sebagian wilayah Pesisir Selatan juga porak poranda diterjang banjir bandang beberapa waktu lalu. Menteri PUPR menyatakan bahwa banjir Pesisir Selatan disebabkan oleh aktifitas pembalakan liar yang terjadi di hulu-hulu sungai. Hal ini dikuatkan dengan bukti adanya kayu-kayu bekas tebangan di sekitar lokasi banjir.
Pembalakan hutan tersebut diduga terkait aktivitas perkebunan sawit dan usaha lainnya. WALHI Sumbar pernah menyatakan pemberian izin dari pemerintah tidak tepat sasaran jika usaha yang dijalankan memicu kerentanan bencana. Misalnya, di sektor perkebunan kelapa sawit, terdapat undang-undang yang jelas mengatur untuk tidak menanam sawit di sempadan sungai. Namun, fakta di lapangan, hanya sungai saja yang tidak ditanami sawit oleh perusahaan.
Pemerintah sebenarnya sudah mengambil keputusan yang tepat dalam membuat Peraturan Penetapan Garis Sempadan Sungai, misalnya di Kabupaten Pesisir Selatan. Namun, manifestasi dari peraturan tersebut masih belum dilakukan secara rinci dan merata. Faktanya banyak bangunan yang didirikan di sekitar lembah sungai. Kenapa bisa berdiri padahal sudah ada aturan? Jika ternyata mendapat izin, maka pemerintah harus bertanggung jawab atas izin yang dikeluarkan.
Pemerintah perlu melakukan audit lingkungan. Pemerintah tidak bisa hanya fokus terhadap bencana yang terjadi belakangan ini, namun juga terhadap bencana-bencana yang sudah terjadi sebelumnya.
Warga memang salah karena memaksakan pembangunan di area bantaran sungai. Namun, izin pemerintah juga perlu dimintai pertanggung jawaban. Jika ternyata memang tidak ada izin, maka pemerintah juga mesti bertindak tegas melakukan pembongkaran dan sebagainya.
Jangan hanya karena ingin menghidupkan ekononi kawasan, bencana lebih besar justru mengancam masyarakat dan lingkungan. Pemerintah daerah tidak bisa terus-terusan memikirkan masalah perekonomian, namun juga fokus terhadap kualitas hidup dan kualitas lingkungan masyarakat.
Kualitas hidup dan kualitas lingkungan semestinya berjalan beriringan. Kualitas hidup yang baik diharapkan meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan. Dan, ini adalah tanggung jawab bersama, pemerintah dan masyarakat.
*
Salsa Auliamri Putri, Mahasiswa Departemen Ilmu Politik Universitas Andalas