Sumbarkita — Kebijakan tarif impor terbaru yang diumumkan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, awal April 2025 menimbulkan gelombang kekhawatiran di kalangan pelaku ekonomi dunia, termasuk Indonesia. Kebijakan yang menetapkan tarif dasar 10 persen terhadap semua negara dan tambahan tarif hingga 42 persen bagi negara-negara yang dianggap “tidak adil” dalam perdagangan, termasuk Indonesia, diprediksi membawa konsekuensi serius terhadap perekonomian nasional.
Pakar ekonomi dari Universitas Andalas (Unand), Hefrizal Handra, mengungkapkan bahwa meski kontribusi ekspor Indonesia ke Amerika Serikat hanya sekitar 9–10 persen dari total ekspor nasional, efek kebijakan tersebut akan terasa luas.
“Dampak tak langsung akan menjalar melalui pelemahan permintaan dari mitra dagang utama kita seperti Tiongkok, Jepang, dan negara-negara ASEAN karena rantai pasok global saling terhubung,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Sumbarkita, Jumat (11/4).
Menurut Hefrizal, penurunan permintaan global memukul sejumlah sektor utama Indonesia. Ia menyebut bahwa industri manufaktur berorientasi ekspor, pertambangan, transportasi-logistik, serta investasi dan konstruksi menjadi yang paling rentan terhadap guncangan tarif itu.
“Ketika volume perdagangan internasional menurun, bukan hanya ekspor yang terganggu. Sentimen investasi pun ikut goyah,” ucapnya.
Meski demikian, kata Hefrizal, tidak semua sektor mengalami tekanan. Ia menilai beberapa sektor yang berfokus pada pasar domestik, seperti pertanian, e-commerce, dan pariwisata lokal justru menunjukkan resiliensi yang lebih tinggi. Menurutnya, sektor-sektor tersebut membuka peluang untuk diversifikasi ekonomi nasional di tengah ketidakpastian global.