Sumbarkita – Jamak kita lihat setiap tanggal 19 Desember dilaksanakan upacara sebagai bentuk peringatan Hari Bela Negara. Upacara dilangsungkan dari tingkat paling bawah hingga negara. Selain upacara beberapa institusi di berbagai provinsi juga mengambil moment melaksanakan seminar yang bertema bela negara di lingkungan masing masing.
Tentu upacara dan seminar ini menambah khasanah penyemarak perayaan Hari Bela Negara tersebut. Bagaimana dengan Sumatera Barat, provinsi sentral yang menjadi lokasi historis penetapan Hari Bela Negara tersebut, apakah cukup peringatan Hari Bela Negara hanya berhenti di upacara saja?
Flash back sejanak, penetapan Hari Bela Negara ini bedasarkan kejadian historis terbentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada tanggal 19 Desember 1948. PDRI terbentuk sebagai respon dari agresi militer Belanda II di tanggal yang sama, melumpuhkan Ibu Kota Negara Yogyakarta. Belanda juga menahan jajaran Pemerintahan Negara Republik Indonesia dari Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan sejumlah pejabat lainnya.
PDRI terbentuk di Bukittingi, didukung oleh beberapa tokoh penting, MR Syafruddin Prawiranegara didapuk sebagai tokoh sentralnya. PDRI yang berlangsung kurang lebih 7 bulan ini berpusat di Sumatera Barat dengan beberapa daerah penting menjadi bagian historisnya, sebut saja Koto tinggi, Halaban, Bidar Alam, Sungai Dareh dan beberapa titik lainnya.
Begitu sentralnya Sumatera Barat dalam rentang waktu 7 bulan masa genting PDRI saat itu, agak janggal rasanya jika peringatan Hari Bela negara di Sumatera Barat cuma berhenti hingga pembubaran barisan oleh komandan upacara. Memang di beberapa momentum ada kegiatan penyerta lainnya, seperti tour sepeda di PDRI, ziarah makam pahlawan, seminar nasional serta kegiatan lainnya. Kegiatan yang ada masih dalam bentuk seremonial, rasanya belum bisa dijadikan kongklusi atas kesakralan momentum Hari Bela Negara di Sumatera Barat.
Heroisme PDRI pada masanya kemudian dijadikan landasan peringatan hari besar nasional yang perkuat dengan Kepres No 28 Tahun 2006, secara tidak langsung melekatkan Hari Bela Negara sebagai brand identity bagi Sumatera Barat. Jadi sayang saja kalo peringatan Hari bela Negara di Sumatera Barat dipahami sebagai perayaan satu hari.
Kita tahu tanggal 10 November itu melekat pada Surabaya, kata Pahlawan itu melekat sebagai brand identity Surabaya. Brand identity Surabaya ini juga hadir lewat peristiwa heroism masa lalu, dijadikan Hari Besar Nasional dan tentu saja di perkuat dengan Kepres. Melekatnya brand identity pahlawan pada Surabaya bukan berarti mengecilkan peran pahlawan dari kota lain. Tapi momentum historis yang kuat ditambah dengan proses komunikasi secara terus menerus dalam berbagai media dan sarana membuatnya melekat pekat di Surabaya.
Apakah Sumatera Barat bisa menjadikan Bela Negara sebagai brand identity yang melekat kuat di provinsi ini dibandingkan dengan daerah lain? Bisa. Hal yang paling berat dalam menjaga dan mempertahan sebuah brand indetity, terutama yang berbentuk heritage branding adalah menjaga komitmen besar yang hadir bersama brand tersebut. Apabila komitmen yang hadir bersama branding itu tidak bisa dilaksanakan maka branding itu akan pudar hingga kehilangan esensinya. Memang menjaga branding bukan proses yang singkat, membutuhkan kesadaran, niatan dan blue print komunikasi yang jelas dalam upaya terus melekatkan bela negara kepada Sumatera barat.